JAKARTA – Program Officer EKOMARIN (Ekologi Maritim Indonesia) Oktrikama Putra menilai bahwa ada kelalaian dari pemerintah daerah maupun pusat, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) atas terpasangnya kavling laut oleh terduga sejumlah korporasi dan personal di kawasan perairan Kabupaten Tangerang, Banten.
“Bahwa sejak masalah PSN PIK 2 dan Pagar Laut muncul ke publik sejak Oktober 2025, seharusnya pemerintah baik daerah dan pusat telah turun tangan secara tegas,” kata Putra dalam keterangan persnya yang diterima Holopis.com, Senin (20/1).
Diterangkan Putra, bahwa di balik pemagaran laut tersebut, ternyata diketahui adanya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan seluas 300 hektare yang tercatat di Kantor Pernahanan Kabupaten Tangerang.
Ia pun menengarai, terbitnya HGB di perairan pesisir ini menunjukkan jika pemerintah menganggap perairan serupa layaknya tanah pada kepulauan dan daratan. Merunut kebelakang, munculnya pengaturan HGB di perairan adalah untuk mengakui hak atas tempat tinggal masyarakat adat laut yang membangun di atas perairan. Tetapi melihat realitas yang terjadi di perairan pesisir provinsi Banten menunjukkan hal yang sebaliknya.
Oleh sebab itu, ia pun meminta pemerintah dalam hal ini melalui aparat penegak hukum untuk turun langsung secara serius membereskan masalah ini dengan pendekatan hukum yang tegas. Bagi siapa pun yang secara langsung terlibat dalam aksi pemagaran laut, maka mereka wajib untuk diproses secara pidana maupun perdata.
“Atas tindakan kesengajaan dengan adanya pembiaran tersebut, EKOMARIN bersama dengan FKPN Banten menyatakan tindakan tersebut adalah pelanggaran konstitusi UUD 1945, dan hak asasi manusia salah satunya jelas melanggara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010,” ujarnya.
Menurutnya, tindakan khusus dan mendesak adanya tindakan tegas hukum pidana terhadap terduga pelaku baik individu termasuk khususnya korporasi pelaku perampas laut harus dilakukan dengan serius. Apalagi menurutnya, ada pasal yang jelas-jalas dilanggar dalam perkara ini.
“Terduga pelaku terancam pidana dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pasal 73 ayat (1) huruf g, dan Pasal 75 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tegasnya.
5 Tuntutan Nelayan Banten
Perwakilan Front Kebangkitan Petani-Nelayan Banten (FKPN), Kholid Maqdir pun menyampaikan setidaknya ada 5 (lima) poin yang mereka tuntut dari terbongkarnya skandal pemagaran laut di perairan Tangerang.
“Pertama, laut kami jangan dikapling dan diprivatisasi, lalu ditransaksikan,” kata Kholid.
Kemudian yang kedua, ia juga meminta agar jangan ada perampasan atas hak hidup masyarakat dengan aksi-aksi penguruhan sawah dan tambak milik warga.
“Kedua, tambak dan sawah kami jangan diurug untuk kepentingan pengusaha rakus tanah,” sambungnya.
Yang ketiga, Kholid bersama perwakilan FKPN pun menegaskan bahwa rakyat Indonesia tidak boleh dijajah dan dikuasai, serta dikendalikan oleh korporasi yang diistimewakan oleh pemegang otoritas di pemerintahan.
Serta yang keempat, ia menekankan bahwa kedaulatan negara tidak boleh kalah dengan semua upaya dan konglomerasi kalangan oligarki.
“Terakhir, jika instrumen negara tidak digunakan untuk mengurus kami, maka kami akan melawan sendiri korporasi itu,” pungkas Kholid.