JAKARTA, HOLOPIS.COM – Dihadapan anggota dan simpatisan Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Maluku Utara, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, menyampaikan rasa hormat dan kekagumannya kepada Sultan Baabullah, sultan ke-7 dan penguasa ke-24 Kesultanan Ternate di Maluku Utara.
Karena Baabullah dikenal sebagi seorang Sultan yang mampu mengusir penjajah Portugis dari tanah Maluku. Baabullah juga dikenal sebagai ulama yang konsisten menyebarkan agama Islam. Ia sempat menikahi anak raja agar bisa menyebarkan agama Islam di wilayah kerajaan istrinya. Ia juga mengajak koleganya sesama raja menjadi Mualaf.
“Tidak selalu berhasil memang, tetapi Sultan Baabullah tidak pernah sakit hati. Ia tetap menjalin hubungan baik dengan raja-raja yang berbeda agama. Dan masih menjalin kerjasama yang saling menguntungkan bagi kedua kerajaan,” kata Hidayat seperti dilansir dari mpr.go.id, Sabtu (27/11).
Begitulah, menurut Hidayat kepribadian para ulama yang menjadi penguasa dalam berhubungan dengan sesama manusia. Mereka Istiqamah menyebarkan syiar Islam, tidak sakit hati kalau belum berhasil dan tetap berhubungan baik dengan kelompok beda agama maupun etnis.
Pernyataan itu disampaikan Hidayat Nur Wahid secara daring saat menyampaikan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, kerjasama MPR dengan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Maluku Utara. Acara tersebut berlangsung di Ternate, Jumat (26/11).
Ikut hadir pada acara tersebut Anggota MPR F-PKS Mahfudz Abdurrahman, Ketua DPP PKS Bidang Pembinaan Wilayah Indonesia Timur, Muhammad Kasuba, Ketua DSW PKS Malut, Ridwan Husein, Ketua DPW PKS Malut Is Suaib, serta Sekretaris DPW PKS Malut Basrin Kanaha.
Sultan Baabullah Kata HNW panggilan akrab Hidayat Nur Wahid, adalah satu dari banyak ulama yang telah berjasa kepada bangsa dan Negara Indonesia. Selain kepada Baabullah, bangsa Indonesia memiliki hutang yang sangat besar kepada umat Islam, khususnya para ulama. Karena itu, HNW merasa heran, ada kelompok masyarakat yang menghendaki pemisahan hubungan antara agama dan negara.
“Bangsa ini berhutang banyak pada ulama. Lalu, bagaimana mungkin bila sekarang ada sekelompok orang yang menghendaki pemisahan antara urusan agama dan negara. Mereka itu pasti tidak baca sejarah, atau pengetahuannya tentang sejarah masih dangkal,” kata Hidayat menambahkan.
Peran tokoh agama menjadi semakin menentukan saat Indonesia mempersiapkan cita-cita kemerdekaannya. Melalui BPUPK, Panitia Sembilan dan PPKI, para ulama dan tokoh agama lain bersama kelompok nasionalis bermusyawarah, hingga akhirnya mereka bersepakat menyangkut Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yang di dalamnya terdapat teks Pancasila.
“Saat mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, Bung Karno bilang piagam Jakarta mengilhami Pancasila. Sementara Bung Hatta pernah menegaskan bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan komponene religius, yang bersifat absolut. Sedangkan sila lainnya adalah kebutuhan sehari hari yang harus disinari oleh sila pertama. Jadi jelas, tidak ada tempat dan alasan memisahkan agama dari negara,” kata Hidayat.