JAKARTA – Wasekjen DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon menilai bahwa persoalan besar dalam Kepemiluan sebenarnya bukan pada sistem yang dipakai. Ia melihat berdasarkan pengalaman yang dialami Indonesia dalam pelaksanaan politik elektoral, masalah utamanya adalah money politic (politik uang).
“Masalahnya menurutku bukan di sistemnya, tapi politik uang-nya. Mau di sistem apa pun kalau politik uang ini tidak diberantas, ya sistem itu pasti akan rusak. Akhirnya jadi tidak ideal,” kata Jansel dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Holopis.com, Minggu (15/12).
Ia mengatakan bahwa Indonesia sudah mengalami situasi dengan model pemilihan, baik secara keterwakilan melalui parlemen, maupun pemilihan secara langsung yakni one man one vote yang saat ini berjalan.
Namun kerusakan utama dalam sistem politik jelas disebabkan oleh politik transaksional yang cenderung memicu biaya semakin mahal dan membengkak. Bahkan ia mengibaratkan money politic sebagai virus utama perusak sistem komputer.
“Karena ibarat komputer, memang politik uang inilah virus utamanya,” ujarnya.
Ketika memang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ingin membenahi situasi politik yang high cost, maka yang harus dibenahi adalah bagiamana mekanisme politik uang dapat diminimalisir semaksimal mungkin, bahkan jika perlu dihilangkan.
“Jadi politik uang ini yang perlu kita beresi. Karena di situ masalahnya. Bukan yang lain. Mau pakai sistem apapun, politik itu ya pasti butuh biaya. Tapi politik uang ini yang membuat ukuran dan jumlah biaya itu jadi tidak normal. Bahkan angkanya sudah ditahap gila-gilaan,” tuturnya.
Bahkan dalam pengalaman yang ia tahu, untuk maju sebagai calon anggota DPR RI, seseorang sekurang-kurangnya harus menyiapkan anggaran hingga Rp80 miliar. Angka itu jelas lebih kecil ketimbang mencalonkan diri sebagai calon Gubernur maupun Bupati / walikota.
“Bagaimana tidak gila, untuk 1 kursi DPR-RI saja bisa habis 3 sampai 5 juta dollar USA. Untuk Gubernur, Bupati dan Walikota mungkin bisa habis 10 sampai 30 juta USD. Orang asing saja seram dengarnya kalau tahu angka itu,” terangnya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah fokus saja menciptakan mekanisme penangkal agar politik uang bisa ditekan maksimal ketimbang membuat ide untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah secara keterwakilan melalui pemilihan di DPRD baik Provinsi, Kabupaten maupun Kota.
“Jadi lebih baik mari kita susun anti virus yang hebat untuk memberantas politik uang ini. Ganti sistem hanya akan sekadar mengurangi jumlah dan dampak politik uang ini saja,” tandasnya.
Kecuali jika memang konsentrasi utama pemerintah hanya fokus sekadar menurunkan biaya politik semata, tanpa menangani praktik politik uangnya.
“Kalau memang itu tujuan terdekat yang ingin diraih ya silakan saja,” pungkas Jansen.