GURU merupakan sebutan untuk orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada muridnya. Tugas guru bukan hanya sekedar mengajar, tetapi juga merubah perilaku murid. Adapun peran guru adalah melakukan pendampingan dan pembimbingan kepada murid secara intens, supaya perilaku murid bisa sesuai dengan apa yang diharapkan.
Guru mengemban tanggung jawab yang berat, tetapi pekerjaan ini sangat mulia. Sebab murid-murid yang diajarinya dalam beberapa tahun ke depan diharapkan bisa menjadi target generasi penerus pemimpin di eranya. Dimana ketika murid sudah menjadi pemimpin, murid akan ikut serta menentukan bagaimana majunya bangsa dan negara ini ke depan. Artinya maju atau tidaknya sebuah negara kita ke depan tergantung bagaimana guru menjalankan tugasnya. Karenanya memperingati Hari Guru satu hari dalam setahun juga menjadi sesuatu hal yang wajib untuk kita, sebagai ungkapan terimakasih atas jasa-jasa guru yang tak terhingga.
Tepat hari ini 25 November, pemerintah Indonesia menetapkan sebagai Hari Guru Nasional bagi Bangsa Indonesia. Penetapan hari guru ini diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 78 Tahun 1994 tentang hari Guru Nasional. Hal ini dilakukan untuk menghargai pengorbanan guru-guru di seluruh Indonesia. Bicara tentang Hari Guru Nasional, tidak bisa kita lepaskan dari tokoh sekaligus bapak pendidikan kita, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau sering kita kenal sebagai Ki Hajar Diwantara (KHD) ia lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta.
Dalam buku yang berjudul “Ki Hajar Dewantara Pemikiran dan Perjuangannya” yang ditulis oleh Suhartono Wiryo Pranoto, Ki Hajar Dewantara terlahir dari kalangan bangsawan dan dibesarkan dalam lingkungan Kraton Paku Alam Yogyakarta, latar belakang yang memadainya memudahkan proses belajarnya di Stovia, Stovia adalah sekolah milik pemerintahan Hindia Belanda. Dimana orang yang bisa masuk ke dalam Stovia saat itu hanya pribumi yang berlatarbelakang priyai. Namun Raden Mas Soewardi Soerjaningrat tidak sempat belajar sampai selesai di sekolah milik Hindia Belanda tersebut, karena kondisinya yang sakit-sakitan.
Pengalaman sekolahnya di Stovia membawa Ki Hajar Dewantara muda pada kesadaran akan kemerdekaan negaranya. Bahwa ternyata di dalam sekolah itu pemerintah Hindia Belanda hanya mau mengontrol kalangan pribumi kita saja, sadisnya di sekolah milik pemerintah Hindia Belanda itu kaum pribumi tidak sama sekali diberikan kebebasan untuk belajar secara mandiri, doktrinasi di sekolah itu sangat kuat ditambah pribumi kita di sistem agar ketika kalangan pribumi lulus dari sekolah itu, pribumi tetap mengabdi kepada pemerintahan Hindia Belanda.
Ki Hajar Dewantara muda sempat mendirikan organisasi bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusomo, organisasi yang dibuat oleh tiga serangkai ini bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Selain itu Ki Hajar Dewantara juga tercatat sebagai pemuda yang sangat kritis terhadap pemerintahan Hindia Belanda, terbukti dari salah satu puisinya yang berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang ia tulis disalah satu surat kabar itu membawa Ki Hajar Dewantara pada pengasingannya di Belanda. Masa pengasingan itu kemudian dimanfaatkan dengan baik olehnya untuk mendalami ilmu pengetahuan. Selang tiga tahun setelah dipulangkan oleh Belanda ke Indonesia, tanggal 3 Juli 1922 Ki Hajar Dewantara membuat lembaga bernama Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa yang dibuatnya ini bertujuan memberikan hak yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak lagi ada ningrat, aristokrat, priyai dan jelata di sekolah ini. Bahkan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat juga merelakan untuk mencopot gelar kebangsawanannya, supaya ia bisa diterima oleh masyarakat.
Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Ki Hajar Dewantara juga diangkat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia yang saat ini menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Semboyannya yang sampai hari ini masih kita kenal dan dipakai adalah “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” dan itu tertuang di dalam logo Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sampai hari ini.
Ucapan berjuta terima kasih kita seakan tidak pernah cukup diberikan kepada setiap pahlawan-pahlawan pendidikan tersebut. Tidak terhitung berapa banyak hari ini anak-anak murid yang dididik oleh guru dan akhirnya mampu menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negaranya. Petuah guru juga disadari atau tidak, ikut membentuk kepribadian dan karakter kita di saat dewasa ini.
Tokoh-tokoh Indonesia yang saat ini banyak disorot oleh televisi, seperti Joko Widodo, Ma’ruf Amin, Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Nadiem Makarim dan menteri-menteri yang hari ini duduk di kursi pemerintahan pun dulunya adalah seorang murid. Bahkan tokoh dunia, seperti Barrack Obama dan Donald Trump, mereka juga dulunya terlahir sebagai seorang murid. Sangat pantas jika guru mendapatkan gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Di era dimana teknologi semakin canggih, informasi dengan sangat mudah didapatkan dan sistem-sistem pembelajaran kita tidak lagi terbatas pada ruang-ruang kelas. Bagi saya ini bukan memudahkan tugas guru, tapi justru ini membuat tugas guru semakin berat. Meski Guru hari ini memang bukan berperang melawan Belanda dan Jepang seperti di era pra kemerdekaan, tapi guru hari ini adalah melawan murid-muridnya yang terkadang suka membuat nyeleneh terhadap gurunya. Hal itu saya pikir tidak bisa disalahkan total kepada muridnya, karena bisa jadi murid bertindak nyeleneh demikian itu akibat dari dampak kurangnya perhatian guru yang mendidik, keluarga atau karena majunya teknologi dan derasnya informasi.
Kita bisa tengok beberapa kasus dalam dunia pendidikan di lima tahun belakangan ini, berapa banyak guru yang dilaporkan oleh muridnya hingga guru harus rela mendekam di bui hanya demi mendisiplinkan murid? Atau mungkin juga sebaliknya. Saya berharap peristiwa-peristiwa yang menodai citra pendidikan itu tidak terjadi kembali.
Maka tugas guru hari ini bagi saya adalah bukan hanya sekedar mentransformasi ilmu pengetahuan saja, tetapi guru di era disrupsi sekaligus pandemi ini juga harus lebih berperan aktif, kreatif dan inovatif untuk bisa merubah akhlak, mendidik mental, mengubah metode pembelajaran dengan cara yang lebih fleksibel agar dapat dipahami oleh murid. Tidak berhenti sampai disitu saja, saya pikir perlu ditopang dengan peran orang tua juga untuk bantu mengawasi pergaulan murid atau anak di lingkungan sekitarnya.
Adapun beberapa semangat Ki Hajar Dewantara yang masih relevan dengan situasi hari ini yang bisa kita ambil untuk kita aplikasikan di dalam kehidupan keseharian untuk guru dan murid adalah; Pertama, aktif dalam berorganisasi. Kedua, peduli terhadap sesama. Ketiga, semangat pantang menyerah. Keempat, memanfaatkan waktu belajar dengan sebaik mungkin. Kelima, mau berjasa dalam pendidikan. Keenam, gigih dalam memperjuangkan hak warga negara. Ketujuh, mengembangkan potensi diri.