JAKARTA, HOLOPIS.COM – Anggota DPR RI, Obon Tabroni menyampaikan penilaiannya terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang hanya rata-rata 1,09 persen. Menurut Obon, kenaikan sejumlah itu masih sangat rendah, bahkan lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai inflasi.
Oleh karena itu, anggota dewan yang berasal dari kalangan buruh tersebut menganggap, kenaikan UMP 2022 tidak akan bisa menopang data beli dan kesejahteraan para kaum buruh di seluruh Indonesia.
“Dengan kenaikan upah minimum yang nilainya lebih kecil jika dibandingkan dengan inflasi, maka kenaikan upah tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ujar Obon dalam keterangannya, Sabtu (20/11).
Selain itu, Obon menyoroti proses penetapan upah minimum yang mengabaikan prinsip perundingan bersama. Dimana selama ini upah minimum adalah hasil rekomendasi dari unsur tripartit yang melibatkan pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
“Terlihat dengan jelas bagaimana pemerintah melakukan intervensi dalam penetapan upah minimun 2022, yang semestinya adalah kewenangan Gubernur berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan yang bersifat tripartit,” tegasnya.
Tokoh buruh yang saat ini menjadi Dewan Pembina Jaminan Kesehatan Watch (Jamkeswatch) tersebut mengatakan, bahwa tidak semua wilayah dan sektor industri terdampak akibat Covid-19. Sehingga alasan bahwa banyak perusahaan tidak mampu membayar upah akibat pandemi tidak sepenuhnya benar.
Dengan kebijakan upah murah, perusahaan yang sebenarnya mampu membayar upah buruh lebih tinggi justru akan membayar sesuai dengan upah minimum.
Lagipula, lanjut Obon Tabroni, apakah bisa dipastikan dengan upah rendah pertumbuhan ekonomi dan investasi menjadi semakin baik. Jangan sampai negara salah mengobati yang sakit dimana yang diobati. Berdasarkan kajian World Economic Forum, maraknya korupsi justru merupakan penghambat utama investasi di Indonesia.
“Praktik korupsi mengakibatkan beberapa dampak buruk terhadap investor. Dampak tersebut antara lain dapat memunculkan persaingan tidak sehat, distribusi ekonomi yang tidak merata, tingginya biaya ekonomi, memunculkan ekonomi bayangan, menciptakan ketidakpastian hukum, dan tidak efisiennya alokasi sumber daya perusahaan,” tegas anggota Komisi III itu.
Menurutnya, upah yang rendah justru akan membuat daya beli buruh merosot jatuh. Karena buruh tidak memiliki daya beli, maka tingkat konsumsi juga akan turun.
“Imbasnya, pertumbuhan ekonomi akan terhambat,” pungkasnya.