HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin membagikan keluh kesahnya terkait dengan manajemen kesehatan di Indonesia. Ia sampai mengutarakan keheranannya dengan manajemen kesehatan yang berjalan selama bertahun-tahun.
Kisah ini berawal dari pengalamannya sendiri, di mana ibunya harus mengalami kecacatan karena telat dalam penanganan strok oleh tim medis.
“Ibu saya kena stroke, jadi karena telat ditangani dia cacat seumur hidup. Padahal kalau dia ditangani kurang dari 4 jam harusnya dia bisa hidup normal,” kata Budi Gunadi di podcast Close The Door seperti dikutip Holopis.com, Jumat (20/9).
Diterangkan Budi, stroke menjadi penyakit yang paling banyak menyebabkan orang meninggal. Bahkan Budi juga menyebut saking banyaknya, kematian akibat stroke per tahun mencapai angka 300 ribu kasus. Nomor dua adalah serangan jantung 250 ribu kasus per tahun, dan yang ketiga adalah kanker 234 ribu kasus per tahun.
Kondisi ini yang membuatnya menaruh konsentrasi serius pada penanganan kasus penyakit stroke. Sebab studi yang ia dapatkan, bahwa survivability penyelamatan penderita stroke efektif 4,5 jam setelah insiden. Lebih dari itu, potensi survivability akan turun, apalagi jika sampai 12 jam telat penanganan.
“Itu dengan teknologi terbaru, kalau bisa ditangani dalam 4,5 jam, survivability-nya itu tinggi. Kalau makin telat 6 jam makin turun, sehingga kalau di bahwa 12 jam sudah sangat kecil sekali survivability-nya,” ujarnya.
Teknologi Terbaru Penyakit Stroke
Dijelaskan Budi, salah satu alat canggih yang bisa membantu penanganan penyakit stroke adalah Catheterization laboratory (Cathlab). Alat tersebut bisa digunakan untuk pemasangan ring jantung atau menjalankan mekanisme trombektomi pada bagian otak.
Karena mendapati informasi tentang pentingnya Cathlab tersebut, Budi Gunadi pun memerintahkan jajarannya untuk melakukan pengadaan barang di seluruh Kabupaten Kota di seluruh Indonesia. Tujuannya adalah agar ada masyarakat yang mengidap penyakit stroke bisa cepat ditangani maksimal 4 jam sehingga survivability untuk sembuh normal lebih tinggi.
“Yaudah pasang di semua Kabupaten Kota 514 berapa yang belum punya Cathlab,” terangnya.
Sayangnya, pengadaan barang sepenting itu ternyata belum pernah terpikirkan sebelumnya oleh lembaga kesehatan di Indonesia. Bahkan saat awal ia menjabat itu, ketersediaan Cathlab hanya ada di 6 Provinsi saja. Antara lain ; Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Mengetahui hal itu, ia pun mendorong agar penyediaan Cathlab tersebut ada di seluruh Kabupaten Kota, agar penanganan stroke di setiap Kabupaten Kota di seluruh provinsi di Indonesia bisa cepat ditangani.
“Waktu saya masuk 77 (unit), sekarang naik 240. Udah banyak, masih kurang. Tapi saya udah dapat pinjaman sampai 2027 lengkap,” tandasnya.
Sayangnya, permasalahan tidak sampai di situ. Tantangan selanjutnya menurut Budi adalah ketersediaan dokter spesialis. Ternyata, kebutuhan dokter untuk spesialis masih sangat kurang, sehingga pun alat sudah ada, dokter yang menangani pasiennya pun masih sangat minim.
“Yang menarik, begitu alatnya 244 sudah masuk, itu tadi, nggak ada dokternya,” tukasnya sembari tertawa heran.
Beasiswa Pendidikan
Melihat kebutuhan dokter yang masih sangat minim, khususnya untuk spesialis jantung intervensi maupun subspesialis penyakit dalam kardiovaskular, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun mencoba mencari solusi dengan meminta bantuan Menteri Kesehatan Sri Mulyani Indrawati agar menyediakan beasiswa pendidikan di Fakultas Kesehatan. Ia pun bersyukur setelah Menkeu memberikan bantuan beasiswa sebanyak 2.000 orang.
Setelah alat sudah diupayakan, kemudian slot beasiswa disediakan karena memang biaya pendidikannya mahal, masalah masih harus dijumpai oleh Budi Gunadi. Yakni ketersediaan bangku kuliah yang terlalu minim di Indonesia.
“Dari 92 FK, cuma 21 yang bisa pendidikan spesialis. Dari pendidikan spesialis jantung ini sub spesialis mungkin ya mungkin 8, 9. Kecil sekali. Nggak dipersiapkan dari dulu memang. Pengajarnya nggak ada, sekolahnya nggak ada, semuanya nggak ada, nggak siap,” keluhnya.
Untuk kasus ini, Budi sangat ingin agar Indonesia bisa menelurkan lebih dari 300 dokter. Itu pun sebenarnya masih kurang untuk bisa mengoperasikan semua alat Cathlab yang disiapkan oleh Kementerian Kesehatan. Sementara jika dilihat dari kebutuhan bangku kuliah untuk subspesialis intervensi vaskular, setidaknya harus ada 3 dokter untuk 1 alat agar operasional bisa 24 jam kerja.
Lalu, langkah selanjutnya adalah bagaimana menambah sekolah spesialis di semua fakultas kesehatan di kampus seluruh Indonesia. Faktanya menurut Budi, tak segampang itu. Ada hambatan yang cukup fundamental disampaikan dalam kesempatan tersebut.
“Untuk membuka sekolah, uh perizinannya, waduh. Aku punya pengalamam bisa cerita, pengin buka satu aja nggak dikasih izin. Nggak difasilitasi,” terangnya.
Persaingan Ego
Satu hal yang cukup mencengangkan disampaikan Budi Gunadi Sadikin adalah, ternyata untuk masing-masing bidang spesialis ternyata terjadi persaingan ego, bahkan persaingan mereka bisa sangat fearst. Di mana masing-masing mereka memiliki ego sektoral yang cukup fundamental juga.
“Antara satu kelompok spesialis dengan spesialis lain, itu terjadi persaingan mengerjakan prosedur tertentu, waktu saya masuk. Dan ini menjadi isu yang sangat sensitif,” tuturnya.
Hal ini diceritakan Budi saat dirinya memberikan beasiswa kepada spesialis jantung intervensi. Karena saat itu ia melihat kebutuhan mendesak untuk penanganan penyakit stroke adalah spesialis jantung intervensi, maka alokasi beasiswa ia konsentrasikan ke sana. Faktanya, ia pun diprotes oleh spesialis penyakit dalam karena dianggap tidak adil.
“Ternyata yang mengerjakan pasang ring itu ada dua grup. Dia bisa spesialis jantung intervensi, bisa spesialis penyakit dalam kardiovaskular. Yang saya tidak pahami kedua grup ini bersaing siapa yang bisa melakukan ini,” jelas Budi.
Menurutnya, ini adalah persoalan fundamental manajemen kesehatan di Indonesia yang harus segera dibereskan. Sehingga fokus utama dalam bidang kesehatan bukan lagi saling mengedepankan ego sektoral, akan tetapi fokus pada bagaimana penyelamatan nyawa dan kesehatan masyarakat Indonesia.
“Saya rasa ini sebenarnya satu wake-up call, yuk kita jangan gini lagi. Ada banyak masalah kesehatan yang jauh lebih penting,” tegasnya.