HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pengamat intelijen dan keamanan dari Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta mengatakan bahwa menekan potensi aksi serangan terorisme di Indonesia bukan perkara mudah, bahkan tidak bisa negara hanya mengandalkan kekuatan state power-nya untuk menekan potensi ancaman radikalisme dan ekstremisme ini.

“Pemerintah sebagai aktor negara perlu melibatkan aktor non-negara yang mempunyai kekuatan besar dan masif jika digerakkan dalam satu tujuan bersama,” kata Stanislaus dalam catatannya yang diterima Holopis.com, Kamis (8/8).

Jika negara mau menggunakan instrumen yang sudah ada, ia yakin bahwa upaya untuk menekan angka radikalisme, ekstremisme dan terorisme bisa semakin ditekan.

“Aktor non-negara tersebut bisa masyarakat secara langsung ataupun organisasi masyarakat yang sudah melembaga dengan kuat dan terbukti kesetiannya terhadap Pancasila dan NKRI, seperti ; Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama,” ujarnya.

Di samping itu, ia juga memberikan kritikan atas langkah-langkah seremonial yang acap kali dilakukan untuk sekadar menunjukkan kinerja semata. Akan tetapi, core utama dari gerakan terorisme ini kurang mendapatkan perhatian lebih. Terlebih, embrio dari jaringan terorisme ini justru paling dikhawatirkan adalah muncul dari kalangan lone wolf terrorism atau lone actor.

“Langkah-langkah yang lebih realistis perlu dilakukan oleh pemerintah, seperti merangkul lebih erat tokoh-tokoh agama termasuk yang berada di kampung atau desa, kelompok perempuan, dan karang taruna dan kelompok masyarakat lainnya,” tuturnya.

Ketika upaya untuk merangkul sudah dilakukan dengan baik, maka selanjutnya adalah bagaimana menanamkan pesan-pesan kebhinekaan dan Pancasila kepada jaringan teroris yang berada di sekup kecil itu.

“Penguatan nilai-nilai luhur Pancasila dan perlawanan terhadap ideologi kekerasan atau paham radikal akan lebih kuat jika masyarakat kalangan bawah dilibatkan, terutama menggunakan kekuatan ormas,” papar Stanislaus.

Ia yakin bahwa langkah yang disarankan ini bisa jadi kurang diminati oleh para pemangku kebijakan dan petinggi di pemerintah. Akan tetapi langkah ini justru sebenarnya lebih efektif sehingga upaya untuk menekan jumlah “pengantin” (istilah pelaku bom bunuh diri) bisa dilakukan semaksimal mungkin.

“Meskipun mungkin kurang populis bagi pejabat pemerintah, tetapi merangkul kelompok masyarakat di level bawah akan lebih bermanfaat daripada berbagai seremoni penandatanganan kerja sama, yang kerjanya belum tentu dilakukan,” tukasnya.

Diingatkan Stanislaus, bahwa persoalan melawan ideologi yang berbasis kekerasan dengan sentimen keagamaan akan sangat sulit dilakukan, sehingga butuh kerja keras, kerja cerdas dan integritas yang tinggi.

“Kerja melawan ideologi kekerasan atau paham radikal adalah pekerjaan besar, tentu saja pemerintah sudah melakukan banyak hal, terutama dalam menyediakan anggaran, dan tentu saja hal ini harus diapresiasi,” terangnya.

“Kerja senyap dari Densus 88 Anti-Teror Polri juga harus diapresiasi yang bisa mencegah puluhan, bahkan ratusan aksi teror. Namun hal yang lebih besar lagi perlu dilakukan, yaitu melibatkan semua unsur masyarakat untuk melawan ideologi kekerasan,” pungkasnya.