HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid tampak tak sanggup menutupi kegeramannya kepada pemerintah dalam hal ini Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) maupun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Ia tak setuju dengan argumentasi Kepala BSSN Letjen TNI (purn) Hinsa Siburian tentang diksi tata kelola data. Sebab, kasus peretasan Pusat Data Nasional (PDN) terenkripsi oleh aplikasi ransomware milik peretas LockBit 3.0 sama sekali tidak memiliki data backup.
Hal ini disampaikan Meutya Viada Hafid dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi I di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/6).
“Kalau gak ada back up itu bukan tata kelola,” ujar Meutya seperti dikutip Holopis.com.
Bahkan Meutya sampai menyebut bahwa ketidakadanya data backup dari server yang ada di Surabaya jelas bentuk kebodohan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini BSSN dan Kominfo.
“Kita nggak hitung Batam backup karena cuman 2 persen kan. Ya itu bukan tata kelola, itu kebodohan aja sih pak,” ucapnya.
Ia pun tak habis pikir, bagaimana sebuah negara melakukan pengelolaan data nasional seperti ini tidak memiliki data backup, sehingga ketika sudah mengalami insiden serangan ransomware, maka tidak ada yang bisa diselamatkan.
Beruntung, lembaga yang paling patuh dengan Pusat Data Nasional Kominfo ini memiliki antisipasi serangan siber, yakni melakukan data backup di server lokal mereka, sehingga layanan data mereka bisa kembali normal lebih cepat.
“Punya data nasional dipadukan seluruh kementerian. Untung katanya ada beberapa Kementerian yang belum comeplay, belum gabung. Masih untung orang Indonesia,” ketusnya.
Meutya pun menjelaskan, bahwa Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) berisi data sejumlah kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah. Namun, hanya dua persen di PDNS Surabaya yang tercadangkan di PDNS Batam.
“Yang paling patuh Imigrasi saya dengar, itu yang paling nggak selamat. Intinya jangan lagi bilang tata kelola, karena ini bukan masalah tata kelola pak, ini masalah kebodohan. Punya data nasional tidak ada satu pun backup berarti kan,” sambung Meutya.
Mendapati kritikan pedas dari politisi Golkar ini, Hinsa puna hanya terdiam. Sebab tak ada yang bisa dibantah dari statemen Meutya tersebut. Namun ia lebih memilih untuk membela diri bahwa seolah tidak ada data yang bocor dari kasus serangan peretasan data dengan teknik Ransomware ini.
Sebelumnya, Hinsa menyebut hanya ada dua persen data di PDNS Surabaya yang dapat dicandangkan di PDNS Batam. Padahal, seharusnya data yang ada di Surbaya dapat langsung dicadangkan di PDNS Batam.
“Artinya data yang ada di Surabaya, seharusnya itu harus ada persis seperti itu juga di Batam,” terang Hinsa.
Data PDNS Tak Bisa Diselamatkan
Sekadar diketahui Sobat Holopis, bahwa Pusat Data Nasional Sementara atau PDN 2 milik Kominfo berhenti beroperasi usai mendapatkan serangan serangan dari Brain Cipher Ransomware, sebuah varian Ransomware dari LockBit 3.0. Seluruh data yang ada di server inti PDNS Kominfo di Surabaya telah terenkripsi. Sementara pihak peretas meminta tebusan senilai USD8 Juta atau setara dengan Rp131 Miliar.
Kasus ini terjadi pada hari Kamis, 20 Juni 2024 sekira pukul 04.15 WIB. Di mana seluruh layanan publik yang berkaitan dengan Pusat Data Nasional tersebut berhenti beroperasi, termasuk Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM).
Direktur Network dan IT Solution Telkom Indonesia Herlan Wijarnako mengatakan data-data yang terkena ransomware dalam server tersebut sudah tak bisa diselamatkan. Pihaknya memutuskan untuk mengisolasi data tersebut dari luar.
“Yang jelas data yang sudah kena ransomware ini sudah enggak bisa dipulihkan. Jadi kita menggunakan sumber daya yang masih kita miliki,” kata Herlan, dilansir Kamis (27/6).
Pihaknya memastikan data tersebut sudah aman dan pihak yang melakukan peretasan tidak akan bisa mengakses kembali PDNS.