Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Rasio utang pemerintahan di awal kepemimpinan presiden terpilih, Prabowo Subianto pada tahun 2025 ditetapkan maksimal sebesar 38,71 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Hal itu sebagaimana disampaikan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna DPR tentang Penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal, Senin (20/5).

Sri Mulyani menuturkan, penetapan rasio utang tersebut sejalan dengan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang diperkirakan mencapai kisaran angka 2,45 hingga 2,82 persen dari PDB.

Sehingga bendahara itu pun menegaskan, upaya untuk menutup defisit anggaran akan dilakukan dengan mendorong pembiayaan yang inovatif, prudent, dan sustainable.

“Ditempuh dengan mengendalikan rasio utang dalam batas manageable di kisaran 37,98 persen-38,71 persen PDB,” kata Sri Mulyani seperti dikutip Holopis.com, Selasa (21/5).

Dalam dokumen KEM-PPKF, disebutkan bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB mengalami kenaikan yang cukup signifikan dalam 10 tahun terakhir.

Adapun rasio utang ini diketahui meningkat 9,14 poin persen pada 2020 menjadi 39,37 persen dari PDB, hal itu karena tingginya kebutuhan pembiayaan untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN).

Kemudian pada tahun 2021, rasio utang kembali maningkat hingga mencapai puncak sebesar 40,73 persen dari PDB, karena masih adanya program PEN.

Namun demikian, seiring dengan terkendalinya situasi pandemi dan perekonomian yang pulih, rasio utang pemerintah melandai menjadi sebesar 39,70 persen pada 2022 dan 38,98 persen pada 2023.

Pada tahun ini, rasio utang pemerintah ditargetkan kembali turun menjadi sebesar 38,26 persen dari PDB.

Adapun penetapan kisaran rasio utang pada KEM-PPKF untuk 2025 diketahui lebih rendah dibandingkan dengan rentang yang ditetapkan dalam rancangan awal rencana kerja pemerintah (RKP) 2025, yang berkisar 39,77 persen hingga 40,14 persen dari PDB.