JAKARTA, HOLOPIS.COM – Seniman Doodle, Hana Alfikih atau yang karib disapa Hana Madness mengajak semua orang yang merasa memiliki penyakit gangguan mental agar bangkit dan tidak lagi merasa terasingkan dari masyarakat.
Ia sangat tahu bahwa situasi ini sulit dilalui bagi mereka yang menjadi penyintas bipolar untuk beradabtasi dengan tenang dan baik. Namun itulah yang perlu diperjuangkan agar kondisi mentalitas mereka bisa terkontrol.
“Narasi-narasi kesehatan mental sulit sekali didapat. Bagaimana media menarasikan orang-orang dengan disabilitas mental sangat negatif sekali. Mereka rentan termarjinalkan,” kata Ana dalam talkshow RuangTamu Holopis Channel dengan tema ‘Deteksi Kesehatan Jiwa di Era Pandemi’, Senin (11/10).
Hana juga menceritakan betapa dirinya saat dahulu merasakan situasi sulit menjalani hidup dengan kondisi disabilitas mental. Ia merasa sendiri, merasa ketakutan tanpa bisa dijelaskan dengan baik, bahkan ia sampai merasa tidak dibutuhkan hidup di dunia.
“Aku bersyukur aku ada awareness pada diriku, dulu aku nggak tahu kenapa aku bisa switch, aku nggak tau kenapa takut banget dengan hari Senin sampai keringetan, aku nggak tahu kenapa bisa nangis sendiri gak berhenti-berhenti dan sebagianya,” kisahnya.
Bahkan di situasi sulit dahulu, lingkungan sekitarnya yakni keluarga yang seharusnya bisa menjadi harapan besarnya untuk berpijak justru tak ia dapatkan. Kondisi mental yang tak karuan di tengah keluarga yang relijius dan kurang literasi terhadap penyakit mental juga menjadi penyumbang semakin sulitnya ia berjuang.
“Aku dapat support dari keluargaku baru beberapa tahun terakhir ini setelah aku sudah bisa berdaya. Jauh sebelum itu aku merasa tidak dicari lagi. Apalagi aku dilahirkan di keluarga yang religius, adik-adikku pesantren sementara aku sudah bertato dan sebagainya, aku hanya mau merusak diriku sendiri,” paparnya.
Namun suatu saat ia berjuang keras untuk bangkit dan menerima kenyataan bahwa dirinya memang diciptakan dengan kondisi seperti itu. Ia memilih untuk fokus bagaimana menjalani hidup saat ini dan esok tanpa melihat lagi masa sulit yang pernah ia lewati.
“Saat di kostan aku sampai belum bisa tidur berhari-hari, badan sudah capek secapek-capeknya, aku merasa kayaknya emang aku diciptain berbeda. Sampai detik ini aku masih berjuang, tapi aku yakin aku tidak hidup di masa lalu-ku, aku fokus hari ini dan esok, aku pakai seni dan aku bersyukur bahwa seniku bisa membuatku berdamai dengan diriku dan keluargaku. Apa yang aku hasilkan di karya-karyaku ternyata bisa untuk menyuarakan ke masyarakat,” tambahnya.
Kemudian, Hana juga meyakini bahwa ada sekian banyak orang yang memiliki kondisi serupa dengannya. Ia mengaku sangat bersyukur di era teknologi informasi yang berkembang pesat membuatnya dipermudah untuk mendapatkan penanganan terhadap penyakit mentalnya itu.
Sayangnya, Hana sadar bahwa keberuntungannya ini tidak semua bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki gangguan kesehatan mental di kalangan pedesaan. Selain rendahnya akses mereka ke dunia luar menggunakan teknologi, pemahaman lingkungan tentang dunia kesehatan mental juga cenderung sangat minim.
“Aku beruntung bisa keluar, tapi masih banyak orang-orang yang terbelenggu dan mati dalam diam. Beruntung kita berada di era digitalisasi, kita bisa mudah menyuarakan isu kesehatan mental. Namun kita juga harus bicarakan saudara-saudara kita yang tidak bisa mengakses teknologi. orang-orang di pedesaan, mereka nggak tahu soal isu kesehatan mental,” tandasnya.
Oleh karena itu, banyak kasus di daerah dan pedesaan yang memaksa orang-orang yang mengalami gangguan mentalitas ini harus dipasung. Padahal menurut Hana, penanganan dengan cara seperti tidak sangat tidak tepat.
“Bahkan kita masih melanggengkan praktik ini (pemasungan) di derah-daerah terpencil karena kurangnya literasi mental health, kenapa nggak dibawa ke psikiater, ya karena mereka belum familiar dengan apa itu psikiater. Maka ini jadi PR kita bersama,” pungkasnya.