HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pihak Istana memberikan penjelasan terhadap pernyataan dari Presiden Jokowi (Joko Widodo) perihal keberpihakan dan keikutsertaan dalam kampanye Pemilu.

Koordinator Stafsus Presiden, Ari Dwipayana awalnya menganggap, banyak pihak yang menyalahartikan pernyataan dari Presiden Jokowi.

“Pernyataan Bapak Presiden di Halim telah banyak disalahartikan. Apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang Menteri yang ikut tim sukses,” kata Ari dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Kamis (25/1).

Padahal, dalam pasal 281, UU no. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Ari menegaskan bahwa bahwa Kampanye Pemilu boleh mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan juga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

“Artinya, Presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU,” tegasnya.

Ari lantas membandingkan sikap Jokowi dengan presiden sebelumnya yang terikat dengan partai politik yakni Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Dimana pada saat itu keduanya bahkan ikut dalam kampanye memenangkan partai.

“Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke 5 dan ke 6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya,” ucapnya.

Oleh karena itu, Ari menegaskan bahwa dalam undang-undang sudah jelas menjamin hak preferensi politik presiden tentunya dengan mengikuti mekanisme dan aturan yang ada

“Dengan diizinkannya Presiden untuk berkampanye, artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak Presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau pasangan calon tertentu sebagai peserta Pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam UU,” jelasnya.

Ari pun meminta semua pihak yang menyalahartikan pernyataan Presiden Jokowi itu untuk melihat terlebih dahulu isi undang-undang sebelum berbicara ke publik.

“Sekali lagi, apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Koridor aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Demikian pula dengan praktek politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi,” tukasnya.