JAKARTA, HOLOPIS.COM Guru Besar ilmu Hukum Tata Negara dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Prof Juanda memberikan saran agar persoalan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan para pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) bisa segera tuntas.

Ia menyarankan agar ada tes ulang yang dilakukan oleh lembaga independen atau orang-orang yang memang memiliki integritas teruji.

“Beri kesempatan bentuk tim independen baru untuk tes wawasan kebangsaan mereka. Mungkin dari BPIP, akademisi, tokoh agama, ada 7 orang misalnya, dites dengan satu tim yang profesional,” kata Prof Juanda dalam talkshow RuangTamu Holopis Channel, Kamis (23/9).

Tes ulang ini dilakukan kata Prof Juanda untuk membuktikan bahwa apakah benar 57 pegawai yang dipecat ini benar-benar tidak memiliki wawasan kebangsaan.

Dan jika dari hasil tes itu ternyata sama dengan apa yang dilakukan dalam tes yang digelar oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) beberapa waktu yang lalu itu, maka seluruh pegawai yang tidak lolos wajib menerima hasilnya dan melakukan introspeksi diri.

“Kalau memang hasil dari tim independen, 57 sama dengan yang dites lama, maka rombongan mas Yudi harus terima,” tegasnya.

Bagi Prof Juanda, ia pun tak sepakat jika di dalam internal KPK ada pegawai strategis apalagi yang menjabat sebagai penyidik malah tidak memiliki wawasan kebangsaan yang baik dan cukup.

“Jangan sampai ada di KPK yang tidak punya wawasan kebangsaan,” imbuhnya.

Saran lainnya adalah peran aktif Presiden Joko Widodo. Prof Juanda menganggap bahwa campur tangan kepala negara di dalam polemik ini penting untuk menuntaskan polemik yang ada. Bahkan jauh lebih arif dan bijaksana ketika Presiden mengambil posisi itu.

“Pak Presiden yang mengambil, pak Jokowi sudah saatnya ambil alih melihat kondisi ini. Presiden harus turun tangan, saya kira sudah tepat. Kalau tidak kemana lagi kawan-kawan ini meminta perlindungan,” tutur Prof Juanda.

Apalagi kata dia, berdasarkan amanah konstitusi yakni di pasal 4 UUD NRI Tahun 1945, Presiden adalah jabatan tertinggi dalam hukum administrasi kepegawaian eksekutif. Sehingga secara hirarkis, seluruh ASN di seluruh Indonesia, bos tertingginya adalah Presiden.

Jika demikian kata Prof Juanda, maka perkara polemik pegawai KPK ini bisa saja menjadi tanggung jawab Presiden.

“Bahwa Presiden pegang kekuasaan tertinggi di Republik ini. Maka Presiden bisa mengambil alih berdasarkan saran dari ORI, MA, MK atau Komnas HAM, termasuk mendengar dari KPK sendiri agar obyektif,” ucapnya.

Namun jika kedua saran ini tidak terjadi, langkah selanjutnya adalah jalur konstitusi lain. Prof Juanda menyarankan agar para pegawai KPK yang tidak lolos TWK menguji keputusan pimpinan KPK yang memecat mereka di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Prof Juanda mengharapkan agar jalur PTUN tidak sampai ditempuh, karena dampaknya bisa pada pertaruhan marwah KPK dan pimpinannya sendiri, apalagi jika dalam gugatan di PTUN justru dimenangkan oleh para pegawai KPK tak lolos TWK itu.

“Kalau ini tidak terjadi, maka kita tes saja di PTUN karena negara ini negara hukum. Tapi kita harap jangan sampai ke PTUN. Cukup Pak Presiden berdasarkan bukti-bukti dan saran-saran dari lembaga negara dan lembaga pemerintah tadi,” pungkasnya.