HOLOPIS.COM, JAKARTA – Laut Merah kini kian memanas, Amerika Serikat (AS) pun meminta Houthi untuk menghentikan serangan-serangannya terhadap kapal yang melintasi jalur perlintasan perdagangan internasioanl tersebut.

Seruan penghentian serangan tersebut disampaikan langsung oleh Juru Bicara Gedung Putih, John Kirby, dimana alasannya karena Amerika Serikat tidak ingin memperluas masalah yang terjadi.

“Kami tidak ingin memperluas (konflik) ini. Houthi punya pilihan yang harus diambil dan mereka masih punya waktu untuk membuat pilihan yang tepat, yaitu menghentikan serangan sembrono ini,” ungkap Kirby, seperti dikutip Holopis.com.

Seruan dari Amerika Serikat tersebut menjadi penting, karena dengan diserangnya kapal-kapal yang melintasi area tersebut, maka akan berdampak pada perusahaan-perusahaan global dalam mendistribusikan barang ke negara yang dituju.

Seperti yang telah diketahui bersama sebelumnya, bahwa serangan itu dilancarkan Houthi kabarnya merupakan bentuk protes serangan Israel ke Gaza, Palestina yang terjadi sampai saat ini.

Akibat dari aksi tersebut, sejumlah perusahan raksasa pelayaran harus menghindari Laut Merah, dimana hal itu tentunya berdampak pada bertambahnya biaya logistik.

Untuk itu, Amerika Serikat beserta sekutunya membuat koalisi khusus yang dinamakan Operation Prosperity Guardioan (OPG), yang di dalamnya ada 20 negara untuk mencegah serangan Houthi di Laut Merah.

Ketegangan sempat terjadi pada Jumat kemarin, dimana AS dan Inggris melakukan serangan ke sejumlah kota Yaman, dengan alasan konsekuensi untuk Houthi.

Namun sejumlah negara seperti hal nya Prancis, mereka tidak ambil bagian dalam serangan yang dipimpin As tersebut, dengan alasan untuk menghindari eskalasi regional.

Ada pun dampaknya pada ekonomi, dikhawatirkan bakal menyebabkan tekanan inflasi yang pada akhirnya dapat menunda atau membalikkan penurunan suku bunga, dan bisa juga membahayakan harapan soft landing ekonomi Amerika Serikat itu sendiri.

Bahkan, menurut CFO perusahaan logistik DP World di Dubai, Yufraj Narayan, memperkirakan gangguan akan menghantam impor Eropa.

“Harga barang ke Ropa dari Asia akan jauh lebih tinggi. Konsumen Eropa akan merasakan dampaknya, hal ini akan lebih berdampak pada negara maju dibandingkan negara berkembang,” ucap Narayan sebelumnya.