HOLOPIS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Partai Gelora, Fahri Hamzah menyatakan bahwa pasangan Prabowo-Gibran tidak bakal mengomentari kasus korupsi e-KTP yang kembali naik ke permukaan.

Hal ini menyusul setelah mantan Ketua KPK Agus Rahardjo kembali menyinggung mengenai kasus tersebut. Dimana kali ini Agus menuduh adanya intervensi dari Presiden Jokowi untuk penanganan kasus tersebut.

Jubir TKN Prabowo-Gibran tersebut pun menyatakan, akan ada banyak calon lain yang berpotensi masih bisa terseret dalam kasus korupsi tersebut.

“Sebaiknya Tim 02 jangan ikut komentar kasus E-KTP, kasian calon lain ada yg kena,” tulis Fahri Hamzah dalam akun X nya seperti dikutip Holopis.com, Minggu (3/12).

Fahri Hamzah pun kemudian menjelaskan, pasangan Prabowo-Gibran satu-satunya pasangan capres dan cawapres yang tidak pernah berurusan dengan KPK apalagi sampai masuk ke persidangan.

Sedangkan diketahui mulai dari Ganjar Pranowo hingga Anies-Muhaimin sudah beberapa kali berurusan dengan KPK mengenai masalah korupsi.

“Pasangan 02 satu-satunya pasangan yg tidak pernah diperiksa KPK, apalagi hadir di persidangan terkait kasus korupsi,” ujar Fahri.

Dengan modal seperti itu, Fahri pun meyakin pasangan Prabowo-Gibran tidak mempunyai beban untuk memberantas kasus korupsi di Indonesia.

“Pokoknya 5 tahun ke depan hanya pasangan 02 yang tidak tersandera kasus korupsi sehingga bisa diandalkan sikat korupsi,” tegasnya.

Sebelumnya, Agus Rahardjo menyebut pernah dipanggil Presiden sendirian ke Istana Negara. Di sana kata Agus, Presiden Joko Widodo ditemani oleh Menteri Sekretariat Negara yakni Pratikno.

“Saya dipanggil sendirian oleh Presiden, presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno,” kata Agus.

Dalam statemennya, Agus menyampaikan Jokowi langsung membentak dirinya persis saat masuk ke dalam ruangan.

“Begitu saya masuk, Presiden sudah marah, menginginkan hentikan kasus Pak Setnov, ketua DPR waktu itu dalam kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” ucapnya.

Karena dirinya tidak menggubris permintaan Presiden pada waktu itu, Agus menyebut tiba-tiba muncul revisi UU KPK yang di dalamnya ada perintah penghentian penyidikan atau SP3.

“Karena KPK tidak punya SP3, tidak mungkin (sprindik) saya berhentikan, saya batalkan,” terangnya.

“Makanya saya nggak saya perhatikan, saya jalan terus. Tapi akhirnya kan dilakukan revisi UU. Intinya revisi UU itu kan SP3 menjadi ada, kemudian (KPK) di bawah Presiden. Apa pada waktu itu Presiden merasa bahwa ini Ketua KPK dibentak Presiden kok nggak mau,” imbuhnya.