HOLOPIS.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta memberikan kritikan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas nomor perkara 90/PUU-XXI/2023, apalagi putusan tersebut menuai perbedaan pandangan yang mencolok di antara hakim-hakim MK dan kalangan masyarakat.

Kaka menilai bahwa seluruh proses pengambilan keputusan mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden telah menghasilkan polarisasi yang mencolok di internal MK. Yang mana di dalam putusan tersebut, sebagian hakim MK memutuskan untuk memberikan peluang bagi yang pernah atau sedang menduduki jabatan kepala daerah untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden, yang berusia di bawah 40 tahun.

Namun, hanya ada tiga hakim yang mendukung tingkatan kepala daerah ini hingga ke kabupaten dan kota, sedangkan lima hakim lainnya ingin membatasi batas usia hanya sampai tingkat gubernur. Yang membingungkan adalah, meskipun pendapat tiga hakim tidak memenuhi standar suara mayoritas, MK tetap mengikuti keputusan yang mereka ambil.

Kritik terhadap putusan ini semakin memuncak ketika Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, secara terbuka mengambil keuntungan dari putusan ini untuk ‘melompat’ dari posisi Wali Kota menuju kursi cawapres.

“Sekarang lebih real ini akan digunakan oleh Gibran, karpet merah untuk Gibran yang baru kepala daerah tingkat Kabupaten Kota. Padahal forumnya itu tidak terpenuhi, sebab kalau ngambil dari 5 berarti tingkatnya sampai gubernur,” kata Kaka Suminta dikutip dalam wawancara dengan salah satu stasiun radio, Senin (23/10) seperti dikutip Holopis.com.

KIPP dan Kaka Suminta meyakini bahwa masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap MK. Mengingat tampak jelas lembaga hukum tertinggi negara itu memberikan karpet merah poltik bagi Gibran, walau ada perbedaan pandangan yang mencolok di antara hakim MK dan ketidaksesuaian putusan dengan jumlah hakim yang mendukung.

“Artinya kan korumnya Problematik. Itu yang paling dasar dari putusan sebuah Majelis adalah soal pleno dan kemudian menghasilkan putusan. Putusan itu boleh antar hakim berbeda pendapat, tapi ujungnya ada aturan main ketika pengambilan keputusan kayak voting itu tidak kemudian 3 menang dibandingkan yang 6,” ucapnya.

Kontroversi ini tidak hanya terbatas pada putusan MK. Kaka Suminta juga menunjukkan bahwa Pemilu 2024 memiliki ciri khas yang mencemaskan, karena nampaknya transaksional dan dominasi elit. Mengingat partisipasi rakyat dalam diskusi-diskusi substansif sangat minim.

Tidak hanya itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tengah berada dalam dilema regulasi, karena belum mengambil langkah untuk mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) pasca putusan kontroversial MK itu. PKPU sebelumnya masih berlaku. Apabila ada perubahan, maka prosedurnya selalu melalui Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI.

Namun, saat ini, anggota legislatif sedang dalam masa reses dan baru akan memulai sidang setelah tanggal 25 Oktober 2023. Di sisi lain batas waktu pendaftaran capres-cawapres berakhir pada tanggal 26 Oktober. Polemik pendaftaran ini kemudian secara otomatis bakal semakin memanas dan berpotensi dipenuhi dengan gugatan yang akan membawa masalah ini kembali lagi ke MK.

“Jadi ini polemik pendaftaran yang bola panasnya ada di KPU dan akan sangat rentan dengan gugatan dan kembali ke MK,” tutupnya.