HOLOPIS.COM, JAKARTA – Dokter ahli forensik dari Rumah Sakit Cipta Mangunkusumo (RSCM), dr Djaja Surya Atmaja memberikan penjelasan tentang perspektifnya tentang autopsi. Hal ini berkaitan dengan perdebatan soal diautopsi atau tidaknya jasad Wayan Mirna Salihin dalam kasus pembunuhan yang menjerat Jessica Kumala Wongso.

Menurut dr Djaja, Mirna sama sekali tidak dilakukan autopsi, sebab metodenya hanya memeriksa sample dari tiga organ tubuhnya saja, yakni ; hati, lambung dan empedu.

“Autopsi adalah membuka organ dari kepala, dada dan perut. Dan diperiksa organ dalamnya satu per satu. Jadi dalam forensik seperti itu,” kata dr Djaja dalam sebuah keterangannya yang dikutip Holopis.com, Selasa (10/10).

Pengambilan sample yang dilakukan terhadap jasad Mirna untuk memeriksa kandungan sianida (CN) di dalam organ tubuh hanya sebagai autopsi parsial, dan itu dikatakan dr Djaja tidak masuk kategori autopsi secara harfiah.

“Ada parsial autopsi, memang ada. Misalnya kepalanya doang diperiksa pada orang yang kena trauma kepala, kepala doang diperiksa, tapi dada dan perut tidak (diperiksa). Tapi itu tidak pernah diakui sebagai autopsi,” ujarnya.

Ia berpegang teguh pada teori yang diyakini bahwa autopsi syaratnya harus melakukan pembedahan terhadap tiga rongga dan dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap masing-masing organ yang diambil sample.

“Dan seluruh dokter di seluruh dunia sampai saat ini mengatakan kalau autopsi lengkap harus dibuka tiga rongga ; rongga kepala, rongga dada dan rongga perut, dan semua organ harus diperiksa. Jadi kalau ngambil sample doang, itu bukan autopsi,” tegasnya.

Autopsi menurut Prof Eddy Hiariej

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej memiliki teori yang berbeda. Namun, ia ingin menerangkan tentang perbedaan autopsi dalam dua aspek.

“Autopsi ada dua, ada autopsi forensik pemeriksaan mendalam dengan mengambil sample pada organ tubuh untuk mengetahui sebab kematian, dan autopsi klinis untuk kepentingan pelajaran, ilmu pengetahuan,” kata Eddy.

Pakar hukum pidana yang juga menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus ini menerangkan, bahwa autopsi tidak harus melakukan pembedahan kepada seluruh rongga tubuh. Hasil dari pemeriksaan itu dituangkan dalam sebuah berkas yang disebut visum et repertum, adalah sebuah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan pro yustisia.

“Hasil autopsi itu dituangkan dalam dalam visum et repertum. Jadi kalau dibelah dadanya, diambil sample pada lambung, pada hati, pada empedu, kalau bukan autopsi apa namanya ?,” ujarnya.

Baca selengkapnya di halaman kedua.