HOLOPIS.COM, JAKARTA – Aparat gabungan dari TNI Polri diduga telah melakukan tindakan represif berupa kekerasan terhadap masyarakat sipil yang dituduh berkaitan dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua.
Pemimpin kelompok separatis Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda mengklaim, tindakan separatis itu dilakukan terhadap warga di kantor klasis Gereja Kingmi Keneyam, Nduga, Papua.
“Ketika para pemimpin gereja sedang tidur di kantor pusat untuk persiapan acara gereja keesokan paginya, polisi membuka paksa pintu dan tanpa dasar menuduh mereka bekerja sama dengan pemimpin TPNPB Egianus Kogoya,” tulis Benny Wenda dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Rabu (4/10).
Sementara itu, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Santoso menyampaikan kekerasan pada tokoh agama dan warga sipil itu terjadi pada 17 September 2023 lalu, yang terjadi di Distrik Keneyam, Nduga, Papua.
Pasalnya, saat penggrebekan terkait dengan gerakan TPNPB OPM Pimpinan Egianus Kogoya di rumah Ketua DPRD Kabupaten Nduga dan di kantor klasis Gereja Kingmi Keneyam, Nduga, Papua tersebut, polisi menangkap enam orang yang saat ini sedang diproses hukum.
“IPW mendapat informasi dan permintaan atensi dari masyarakat Papua bahwa tindakan kekerasan dan perendahan martabat dengan menyebut Gereja Seta itu dialami oleh pendeta Natanaiel Tabuni (bendahara Sinode Kingmi Papua) yang mulutnya berdarah dan giginya patah,” kata Sugeng.
Penganiayaan pun diduga juga dialami Pendeta Sakius kogeya (Ketua Klasis Gereja Kingmi Keneyam) yang ditendang beberapa kali pada tulang rusuk dan pungggung belakang serta bagian pelipis kepala mengalami lecet.
Sementara masyarakat bernama Ibu Naina Lani (Ibu rumah tangga) dipukul kepala belakang. Demikian juga Ibu Dik (Ibu rumah tangga) mengalami pemukulan di kepala samping dekat telinga.
“Kekerasan yang dilakukan aparat itu juga mengakibatkan pintu kantor klasis keneyam rusak dan laptop dan HP milik terduga TPNPB OPM dan HP milik pimpinan gereja turut hilang,” bebernya.
Sugeng pun menilai tindakan kekerasan pada warga sipil oleh kepolisian terkait penegakan hukum yang dilakukan polisi adalah tidak dibenarkan menurut ketentuan UU maupun kode etik kepolisian.
Apalagi menyasar pada perempuan dan pimpinan keagamaan yang tidak terkait dengan urusan penegakan hukum oleh polisi. Bahkan dalam menjalankan kewenangan penegakkan hukum, Polri diwajibkan menurut hukum, harus menghormati hak asasi manusia yang secara teknis juga diatur dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penerapan Prinsip dan Standar Hak. Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
“Tindakan kekerasan pada warga justru akan menimbulkan rasa antipati pada pemerintah dan rasa tidak percaya pada Polri,” tegasnya.