Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Sektor Industri tekstil Indonesia kini disebut dalam situasi bahaya. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja.

Dia mengatakan, bahwa sektor industri tekstil Indonesia saat ini harus bersiap dalam menghadapi krisis kedua sejak masa pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa waktu lalu.

“Situasi dunia saat ini kurang menguntungkan bagi industri perdagangan produk-produk dari industri tekstil dan produk tekstil (TPT),” kata Jemmy dalam keterangannya, (1/9) yang dikutip Holopis.com.

Dia pun mengajak seluruh pihak di sektor industri tekstil Indonesia untukn saling bersinergi dalam menghadapi situasi yang sulit saat ini.

“Maka, industri TPT indonesia harus bersatu dan menyikapi situasi ini secara bersama-sama agar terdapat sinergi kepentingan untuk perbaikan,” imbuhnya.

Adapun Indikator pertama dari situasi bahaya yang mengancam industri tekstil nasional adalah penurunan produktivitas mesin pabrik, akibat menurunnya pemesanan barang untuk pasar ekspor.

Diketahui, sampai dengan periode Maret 2023, terjadi penurunan volume ekspor barang hasil industri TPT hingga mencapai 10,78 persen.

Berikutnya, penurunan pemesanan barang untuk pasar ekspor berakibat pada angka utilisasi mesin di pabrik-pabrik yang hanya berkisar 60 persen. Hal tersebut berujung pada rasionalisasi jumlah karyawan pada setiap perusahaan, yang berjumlah sekitar 70.000 orang hingga kuartal pertama 2023 lalu.

“Terjadinya pelemahan industri atau deindustrialisasi akan mengakibatkan serapan tenaga kerja menurun drastis. Padahal, lonjakan tenaga kerja dan bonus demografi tidak terbendung. Upaya-upaya besar harus dilakukan API, APSYFI, bersama pemerintah,” kata Jemmy.

Selain dari situasi domestik tersebut, Jemmy turut menyoroti bagaimana pengaruh eksternal masuknya barang impor. Tidak hanya berupa produk pakaian jadi yang membanjiri pasar domestik, terdapat impor berupa bahan baku maupun penolong terkait industri TPT.

Berdasarkan catatan API produk pakaian jadi di pasar domestik, sekitar 66 persen berasal dari Tiongkok. Ditemukan juga barang impor asal Bangladesh dan Vietnam, masing-masing sebesar 8 dan 6 persen.

Kekhawatiran dominasi produk pakaian impor asal Tiongkok, lantaran didorong oleh adanya fenomena overstock produk TPT di negara tersebut.

Tak hanya produk jadi, Tiongkok juga turut menjadi asal barang impor berupa bahan baku dan penolong, dengan kontribusi hingga 48 persen. Sedangkan lainnya berasal dari Brasil, Amerika Serikat, hingga Australia yang masing-masing menyumbang 5-6 persen dari total impor.

API juga mencatat pada tahun 2022 lalu, volume produk barang TPT impor mencapai 2,16 juta ton dengan nilai sebesar US$10 miliar. Sementara perkiraan angka laju impor barang TPT selama kurun waktu 2020 hingga 2022 mencapai 40 persen per tahun.