HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis mendukung keputusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pencatatan perkawinan atau pernikahan beda agama dan keyakinan di seluruh pengadilan.

Menurut Kiai Cholil, sapaan akrabnya, keputusan MA terkait larangan pernikahan beda agama tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap ajaran agama-agama yang ada di Indonesia.

“Ini adalah bagian dari penghormatan dan toleransi kepada ajaran agama-agama,” kata Cholil Nafis dalam keterangannya, Rabu (19/7) yang dikutip Holopis.com.

Kiai Cholil menyampaikan, MUI terus berupaya menghalau dan memerangi adanya praktik dan usaha pelegalan terhadap pernikahan beda agama yang kerap terjadi belakangan ini.

Ia juga menyinggung adanya pengadilan yang secara terang-terangan mengabulkan pernikahan beda agama, legalisasi oleh penghulu ilegal, dan gugatan konstitusional sekolompok warga negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Oleh karena itu (kita bisa) menegakkan agama dalam rangka menjaga entitas masing-masing, di saat bersamaan agama bisa menjadi sarana dan landasan menjaga keragaman,” imbuhnya.

Selain karena ajaran normatif dalam agama, penolakan terhadap pernikahan beda agama juga didasarkan alasan konstitusi. Menurutnya, konstitusi menghargai adanya entitas ajaran agama masing-masing dari campur aduk dan pembauran.

Dengan demikian, larangan beda agama adalah bentuk orisinalitas menjaga kemurnian ajaran antar agama.

“Berkenaan kita (MUI) memperjuangkan untuk tidak sahkan beda agama karena dalam konstitusi kita itu mengakui entitas masing-masing (agama),” tukas Kiai Cholil.

Diberitakan Holopis.com sebelumnya, Mahkamah Agung secara resmi mengeluarkan larangan pencatatan perkawinan beda agama dan keyakinan di seluruh pengadilan.

Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat yang Berbeda Agama dan Keyakinan.

“Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan,” tulis Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin dalam surat edaran tersebut, Selasa (18/7).