HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando EMas mengapresiasi keberadaan Polisi RW yang dijalankan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
Hanya saja ia memberikan pengingat bahwa jangan sampai program Polisi RW menjadi sesuatu yang asal ada sehingga tak ada hasil yang diharapkan.
“Program Polisi RW ini jangan sekadar jadi program dan hanya juga sekadar target rasionalitas antara jumlah polisi dan jumlah masyarakat,” kata Fernando dalam diskusi publik bertemakan ‘Polisi RW : Jaga Pemilu Damai” yang diselenggarakan Selasa (18/7) seperti dikutip Holopis.com.
Agar program ini bisa berjalan dengan baik, maka setiap petugaa Polisi RW dibekali dengan kemampuan teknis yang diperlukan. Salah satunya adalah kemampuan intelijen.
“Kemampuan intelijen harus kuat, telinga dan matanya harus lebih tajam ketimbang polisi-polisi lainnya, dan kemampuan melakukan analisis,” ujarnya.
Tujuannya adalah, agar apa yang diharapkan dari lahirnya program Polisi RW bisa dicapai dengan baik, yakni kemampuan deteksi dini dan penanganan lebih cepat terhadap berbagai potensi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Apalagi, salah satu manfaat dari keberadaan Polisi RW juga bisa menjadi inspektrum pencegahan terjadinya konflik sosial akibat perbedaan dalam Pemilu 2024.
“Jangan sampai ada nanti kelompok masyarakat kita dipecah belah lagi, akhirnya membahayakan keutuhan berbangsa dan bernegara,” tuturnya.
Polisi Netral
Masih dalam kesempatan yang sama, Fernando juga memberikan peringatan agar bisa diantisiasi dengan baik. Yakni ancaman netralitas Polri untuk dukung-mendukung kelompok politik praktis tertentu.
“Tentang tantangan, memang polisi seragamnya cokelat tapi warna pilihannya pasti ada, afiliasi politiknya saya yakin ada seperti perwira tinggi pasti punya orientasi politik,” tuturnya.
Yang jadi persoalan adalah godaan politik itu akan semakin besar karena Polri memiliki instrumen keamanan dalam Pemilu.
“Dalam politik pasti ada saja yang mendekati dia, tujuannya untuk mengerahkan untuk kepentingan kelompok atau partai tertentu. Sehingga bisa jadi di balik baju cokelatnya ada warna-warna lain, bisa merah, kuning atau lainnya. Ini yang harus diantisipasi,” tandasnya.
Preferensi politik seorang anggota Polri menurut dia sah-sah saja. Hanya saja jangan sampai diaktualisasi dalam bentuk apapun, karena sebagai PNS atau ASN harus patuh pada aturan yang ada.
“Jangan sampai warna cokelat itu mendominasi warna warna lain, cokelatnya harus tetap diutamakan, karena dia dilantik, dibaiat dan dibayar negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,” pungkasnya.