HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia angkat bicara terkait pernyataan Dana Moneter Internasional alias IMF tentang kebijakan larangan ekspor mineral mentah, seperti nikel.
Menurutnya, IMF tidak seharusnya berkomentar terkait larangan ekspor yang diberlakukan pemerintah Indonesia, apalagi menentang kebijakan tersebut.
Namun di satu sisi, IMF juga mendukung hilirisasi yang menjadi akar dari kebijakan tersebut. Hal itu menunjukkan IMF tengah melakukan standar ganda.
“IMF melakukan standar ganda. IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural dan penciptaan lapangan kerja,” kata Bahlil dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Jumat (30/6).
“Namun, IMF menentang kebijakan larangan ekspor karena menurut analisa untung ruginya, menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara. Kedua, berdampak negatif pada negara lain,” ujarnya.
Bahlil menilai, pemikiran IMF soal kerugian yang dialami pemerintah Indonesia setelah menerapkan hilirisasi juga tak tepat. Terlebih, kata dia, IMF memprediksi investasi asing atau foreign direct investment (FDI) yang masuk ke Indonesia tumbuh hingga 19 persen pada 2023.
Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM yang dipaparkan Bahlil, realisasi investasi pada kuartal I/2023 mencapai US$11,96 miliar, dimana investasi asing atau FDI tumbuh 43,4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Menurutnya, realisasi tersebut menunjukkan kepercayaan publik global kepada Indonesia dalam menerapkan kebijakan ekonomi dan reformasi birokrasi dalam investasi.
“Sekarang IMF bilang Indonesia rugi? Ini luar nalar berpikir sehat saya. Dari mana dibilang rugi? Tahu gak, dengan kita hilirisasi itu penciptaan nilai tambah sangat tinggi sekali,” kata Bahlil.
Sebelum diterapkannya hilirisasi, lanjut Bahlil, pendapatan dari ekspor nikel hanya berkisar di angka US$3,3 miliar. Setelah ekspor nikel disetop, Indonesia mendapat pendapatan 10 kali lipat, yakni sekitar US$30 miliar.
Bahlil juga mengatakan, pada 2016-2017 defisit neraca dagang Indonesia dengan China mencapai US$18 miliar. Setelah kebijakan hilirisasi diterapkan, Indonesia mendorong agar ekspor tak lagi komoditas, melainkan dalam bentuk setengah jadi dan barang jadi.
Imbasnya, kata dia, pada 2022 defisit neraca dagang Indonesia dengan China hanya tinggal US$1,5 miliar. Bahkan, Indonesia mencatat surplus US$1 miliar dengan China pada kuartal I/2023.
“IMF jangan ngomong ngawur. Dengan hasil hilirisasi, surplus neraca dagang kita 25 bulan sekarang. Neraca pembayaran kita juga mengalami perbaikan,” kata Bahlil.
Bahlil juga menyoroti pandangan IMF yang menyinggung bahwa pendapatan negara akan terganggu akibat aturan larangan ekspor.
Bahlil mengatakan pada 2021-2022 target pendapatan negara tercapai terus. Berdasarkan data Kemenkeu, pendapatan negara untuk APBN Tahun 2022 terealisasi Rp2.626,4 triliun atau 115,9 persen dari target yang ditetapkan pemerintah.
“Yang tahu itu (pendapatan negara) tercapai atau tidak itu kita dan pemerintah, bukan IMF. Jangan bicara pendapatan negara, akibat hilirisasi terjadi pemerataan ekonomi di daerah, terutama daerah penghasil komoditas barang baru,” ujarnya.