Holopis.com JAKARTA, HOLOPIS.COM Rencananya, Presiden Joko Widodo akan mengumumkan nasib PPKM Level 4 malam ini, setelah pada hari ini batas waktu pemberlakukan PPKM Level 4 berakhir.

Namun, anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyanti Heryawan mengusulkan bahwa kebijakan PPKM Level 4 perlu diperpanjang. Hal ini melihat tren kasus yang masih menunjukkan angka tinggi.

“Saya melihat bahwa kebijakan PPKM level 4 masih sangat diperlukan. Pemerintah tidak boleh melonggarkan kebijakan ini,” kata Netty, Senin (9/8).

Tidak boleh ada pelonggaran PPKM ketika tidak ada tolok ukur yang komprehensif dan bersifat saintifik. Karena menurutnya, faktor keselamatan masyarakat dari ancaman penularan Covid-19 harus menjadi prioritas utama pemerintah,

“(PPKM tidak boleh dikendorkan) tanpa mempertimbangkan indikator laju penularan, antara lain kasus positif, BOR, dan angka kematian harian,” ujarnya.

Legislatof dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menilai, bahwa penyebaran virus Covid-19 di Indonesia masih belum bisa dikendalikan sampai saat ini. Apalagi menurut Netty, kasus kematian akibat virus korona di sepanjang massa PPKM Level 4 kali ini juga masih terbilang tinggi.

“Saat ini kasus COVID-19 di tanah air masih belum dapat dikendalikan secara signifikan. Lihat saja positivity rate serta kematian yang tinggi. Seminggu terakhir angka kematian akibat COVID-19 masih konsisten di atas 1.000 kematian. Bahkan, tanggal 4 Agustus lalu angka kematian kita menjadi yang tertinggi di dunia dengan 1598 kematian,” tandasnya.

Tidak hanya persoalan positivity rate saja, bahkan persoalan testing, tracing dan treatment di Indonesia masih sangat rendah. Sehingga setidaknya, pemerintah juga memfokuskan diri untuk memperbaiki kelemahan ini.

“Testing kita juga masih rendah. Testing harian kita hanya mencapai 200 ribu, jauh di bawah target pemerintah 400 ribu per hari. Testing ini juga tidak merata sebarannya. Ada yang tinggi jauh di atas standar WHO, seperti DKI (14,9:1.000 penduduk per pekan) dan DIY (15,3:1.000 per minggu),” paparnya.

“Namun, ada juga yang jauh di bawah standar WHO seperti Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku yang sama-sama mencatat rasio tes 0,9:1.000 penduduk per pekan. Angka ini timpang sekali, padahal kematian di Lampung lebih tinggi ketimbang Bali, DI Yogyakarta atau pun Banten, yakni 68 jiwa,” sambung Netty.