HOLOPIS.COM, JAKARTA – AI (Artificial Intelligence) perlahan mulai menggantikan, peran dari pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan oleh orang. Namun, AI tidak bisa menggantikan pekerjaan atau profesi yang berhubungan dengan moral.

Seperti tugas dari seorang hakim dan jaksa, yang melaksanakan tugasnya harus menggunakan hati nurani tidak hanya berdasarkan data yang ada.

Buat sebagian orang moral dianggap berasal dari kebudayaan, ada juga yang beranggapan bawaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk membedakan benar dan salah dalam hati nuraninya.

Ahli Utama dari Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber BRIN, Hilman F. Pardede dalam sebuah diskusi mengungkapkan sejumlah alasan terkait hal tersebut.

“Pertama, moral itu juga masih diperdebatkan. Kita masih membicarakan asal moral dari mana sih?” ujarnya dalam keterangan yang dikutip Holopis.com, Jumat (2/6).

Hilman menjelaskan, dalam menentukan moral diperlukan pemahaman lebih tidak hanya berdasarkan kumpulan data yang dipelajari oleh mesin. Selain itu, moral manusia juga dipengaruhi oleh yang namanya emosi atau sisi psikologis lainnya.

AI yang saat ini terus dikembangkan, tidak bisa memiliki hal-hal tersebut. Sehingga menjadikan AI sebagai pengambil keputusan berkait moral dan hati nurani bukan merupakan ide yang bagus.

“Kalau saya tadi bilang, AI kan belajar dari data, dilatih. Nah kalau kita melatih dengan pemahaman yang setengah-setengah tadi, mungkin kita nggak bisa memodelkan itu,” jelas Hilman.

“Saya sebagai seseorang yang mau dihakimi aspek moralitasnya, saya pengennya tentu adalah manusia (yang melakukannya – red) karena dia bisa melihat keseluruhan masalah,” pungkasnya.