HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasani menyebut, bahwa berdasarkan riset lembaganya, ditemukan setidaknya 70,2 persen pelajar Sekolah Menengah Akhir (SMA) memiliki kecenderungan toleran terhadap perbedaan.
“Derajat toleransi siswa atau remaja SMA di tahun 2023 menunjukkan kecenderungan yang positif dengan 70,2% memiliki sikap toleran,” kata Halili dalam rilis surveinya yang dikutip Holopis.com, Rabu (17/5).
Dengan angka yang cukup besar itu, ia merasa senang bahwa para pelajar dan anak muda Indonesia cukup memiliki bekal yang kuat dalam menyikapi perbedaan yang ada.
“Angka ini menunjukkan bahwa modal sosial toleransi siswa masih cukup kuat,” ujarnya.
Ia juga yakin, data ini bisa dijadikan potret bahwa masyarakat Indonesia saat ini cenderung toleran.
“Temuan ini sejalan dengan tren kondisi toleransi berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) dan juga Indeks Kerukunan Umat Beragama yang secara garis besar menunjukkan bahwa toleransi publik Indonesia masih cukup tinggi,” tandasnya.
Masih cukup pekerjaan rumah (PR) yang perlu diperkuat lagi untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya pelajar SMA lainnya yang masih intoleran, baik yang pasif maupun aktif.
Dimana data SETARA Institute, ada sebanyak 24,2 persen remaja Indonesia yang intoleran pasif, dan 5 persen yang intoleran aktif. Bahkan ada 0,6 persen merupakan remaja yang berpotensi kuat terpapar paham radikalisme.
Rekomendasi
Lebih lanjut, Halili menyampaikan bahwa berdasarkan temuan data tersebut, pihaknya memberikan beberapa rekomendasi. Salah satunya kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk melakukan penguatan karakter di dalam kurikulum pendidikan di semua level.
“Kemdikbudristek, melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), yang dibentuk dengan Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021, terus meningkatkan kualitas dan persebaran program-programnya hingga ke semua jenjang pendidikan dan melibatkan berbagai elemen masyarakat pendidikan,” tuturnya.
Selain itu, kurikulum tentang wawasan kebangsaan juga harus diterapkan oleh semua lembaga atau penyelenggara pendidikan di seluruh Indonesia. Tujuannya adalah memastikan penguatan karakter siswa agar lebih kuat lagi.
“Para penyelenggara pendidikan meningkatkan pembudayaan wawasan kebangsaan dan mainstreaming toleransi dalam pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah. Dua variabel ini memiliki korelasi positif sebagai pembentuk karakter toleransi siswa,” imbuhnya.