HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah Putra mengingatkan bahwa polling yang dilakukan di media sosial seperti Twitter tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengukur elektabilitas dan tingkat keterpilihan seseorang dalam kontestasi politik.
Alasan mendasar mengapa dirinya menyatakan seperti itu, karena survei atau polling yang dilakukan di media sosial cenderung memiliki tingkat kebiasan data lebih besar, ketimbang survei konvensional yang dilakukan dengan metodologi lebih ilmiah dan data yang kredibel.
“IPO tidak serta merta mengakui polling media sosial, karena populasi yang tidak miliki nilai proporsional,” kata Dedi kepada Holopis.com seperti dikutip pada hari Kamis (11/5).
Persoalan bisa dipercaya atau tidaknya sebuah hasil riset lembaga survei, tentu menjadi domain user atau masyarakat yang mendapatkan akses hasil pengolahan data tersebut.
Dedi memberikan penekanan, bahwa ada 2 (dua) kunci utama apakah data lembaga survei bisa dipercaya atau tidak.
“Sepanjang lembaga survei memiliki metode yang benar, dan tidak terafiliasi secara langsung dengan kandidat, maka masih bisa dipercaya,” ujarnya.
Setiap riset yang melakukan penggunaan sample data random atau acak, maka tentu tidak akan memiliki tingkat kepercayaan 100 persen, termasuk soal margin of error. Sehingga persoalan hasil apakah 100 persen valid atau tidak, tentu hasil akhir menjadi jawaban mutlaknya.
“Soal hasil, tentu banyak faktor yang bisa pengaruhi, selama ini yang terjadi hasil survei dimanfaatkan sebagai materi propaganda, itu tidak keliru, biasa saja dalam politik praktis,” pungkasnya.