HOLOPIS.COM, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa perbedaan mengenai penetapan 1 Syawal 1444 Hijriah adalah hal yang biasa.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh pun menghimbau, hendaknya masyarakat untuk menjadikan perbedaan tersebut untuk memperkuat toleransi dan bukan menjadi ajang permusuhan.
“Terjadinya perbedaan pendapat pada masalah yang berada dalam majal al-ikhtilaf (wilayah dimungkinkannya terjadi perbedaan) harus mengedepankan toleransi,” kata Asrorun dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Kamis (20/4).
Asrorun kemudian menjelaskan, penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah merupakan wilayah ijtihadiyah yang membuka kemungkinan terjadinya perbedaan di kalangan fukaha.
“Sehingga, secara keilmuan, memang dimungkinkan terjadinya perbedaan,” imbuhnya
Pada 1444 Hijriah ini, hilal berada dalam ketinggian majal al-ikhtilaf (wilayah perbedaan pendapat), maka dipastikan akan terjadi perbedaan waktu penetapan hari raya Idul Fitri.
“Karena itu, perlu ada semangat saling menghormati atas terjadinya perbedaan tersebut. Perbedaan yang didasarkan pada pertimbangan ilmu akan melahirkan kesepahaman (tafahum); bukan pertentangan (tanazu’) dan permusuhan (‘adawah). Karenanya, beragama perlu dengan ilmu sehingga muncul spirit harmoni dan kebersamaan,” jelasnya.
Asrorun menyarankan bagi yang meyakini serta mengikuti pandangan bahwa Idul Fitri jatuh pada Jumat (20/3), maka dia dapat melaksanakan salat Idul Fitri dan tidak boleh berpuasa.
Sementara itu, bagi yang menggunakan ijtihad dengan patokan rukyah atau hisab imkanur rukyah dengan kriteria ketinggian hilal 3 derajat, dan bagi yang meyakini serta mengikuti pandangan bahwa Idul Fitri jatuh hari Sabtu, pelaksanaan salat Id pada Sabtu dan tidak boleh berpuasa di hari Sabtu tersebut. Selain itu, pada hari Jumat masih wajib berpuasa.