HOLOPIS.COM, JAKARTA – Lembaga Advokasi dan Konsultan Hukum, Gurun Arisastra & Partners menyatakan kesiapannya untuk mendampingi seorang nenek berinisial NS (74) yang diduga menjadi korban korban mafia tanah, dengan adanya pemindahan hak milik dalam sertifikat tanahnya.

Nenek tersebut telah melaporkan seorang yang berprofesi sebagai notaris PPAT Daerah Bojonegoro Jawa Timur ke Kepala Kantor Pertanahan Bojonegoro, yang juga menjabat sebagai Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah Bojonegoro. Dia diduga menganulir hak milik dalam sertifikat tanahnya.

Gurun Arisastra, selaku pengacara nenek tersebut menginginkan pemberhentian secara tidak hormat diberikan kepada notaris itu. Sebab, kliennya menjadi korban dugaan mafia tanah dengan modus operandi yang seharusnya melahirkan akta perjanjian hutang piutang namun justru lahir akta jual beli.

“Iya, kami melaporkan notaris yang juga sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Yudi Aryono Basuki ke Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah Bojonegoro,” katanya dalam keterangan tertulis yang dikutip Holopis.com, Jumat (16/3).

Gurun merinci, kerugian sang klien berupa aset tanah yang di atasnya berdiri bangunan senilai Rp12,1 miliar. Sertifikat hak milik kliennya kini beralih kepada orang lain, padahal hutang piutangnya hanya sebesar Rp3 miliar.

Hal ini menurutnya, menunjukan adanya dugaan pelanggaran atas pelaksanaan jabatan atau tidak melaksanakan kewajibannya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

“Namun justru notaris mengunakan jabatannya sebagai pejabat pembuat akta tanah melahirkan akta jual beli bukan akta perjanjian hutang piutang,” ujar Gurun.

Ia menyampaikan, kliennya melakukan pinjaman hutang terhadap inisial APW sebesar Rp3 miliar. Namun yang diterima oleh kliennya hanya sekitar Rp2,7 miliar. Alasannya, Rp300 juta itu sebagai biaya administrasi dan lain sebagainya.

APW kemudian menunjuk salah satu notaris yang juga menjabat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Bojonegoro, yakni Yudi Aryono Basuki. Agar sertifikat dijaminkan dengan dititipkan pada notaris tersebut dan dibuatkan perjanjiannya.

Sang nenek kemudian diminta untuk membubuhkan tanda tangannya, namun tidak dibacakan akta tersebut oleh notaris. Tidak lama, kliennya diberitahu oleh salah satu instansi di Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro bahwa sertifikat hak miliknya telah beralih kepemilikannya atas nama inisial APW.

“Klien kami kaget ternyata yang seharusnya ditandatangani oleh klien kami akta perjanjian hutang piutang namun lahir akta jual beli. Kemudian pada saat terjadi penandatangan itupun hanya pihak dari klien kami saja bersama notaris PPAT tersebut sedangkan APW tidak ada di kantor notaris tersebut,” ungkap Gurun.

Gurun menambahkan bahwa laporan atau pengaduan ini juga akan disampaikan ke Kepala Badan Pertanahan Nasional RI. Disisi lain, kasus ini juga akan dilaporkan pada pihak kepolisian.

“Iya kami akan tembuskan pula pengaduan ini ke pusat yakni ke Kepala Badan Pertanahan Nasional atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang karena Majelis Pembina dan Pengawas Pusat berada pada tingkat kementerian dan kami akan laporkan juga secara pidana ke kepolisian,” tutur Gurun

Menurutnya, notaris tersebut diduga melakukan pelanggaran pada Pasal 21 Ayat 3 dan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

“Dikarenakan salinan akta tidak diberikan kepada klien kami, dan juga dalam menjalankan profesinya akta tidak dibacakan dan dijelaskan kepada klien kami serta pihak yang hadir dalam penandatangan tersebut hanya dari pihak klien kami, seharusnya kan pihaknya lengkap. Kami laporkan dia kapasitasnya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah,” katanya.