HOLOPIS.COM, JAKARTA – Mantan narapidana kasus kebakaran gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Imam Sudrajat mengatakan bahwa dirinya sempat bingung tentang dirinya yang dijadikan tersangka di dalam kasus yang terjadi tanggal 22 Agustus 2020 itu.

“Saya nggak tau apa-apaan kok dijadiin tersangka. Sedangkan kebakaran itu setelah rentang waktunya ya sudah jauh saya pulang, sekitar setengah sampai 1 jam,” kata Imam dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Minggu (19/2).

Sebelum kebakaran terjadi, Imam merupakan pekerja bangunan yang bertugas memasang wallpaper di ruangan aula yang ada di lantai 6 (enam) gedung utama Kejaksaan Agung itu. Di sekitar lokasi, ia juga tidak menemukan adanya bahan mudah terbakar, termasuk thinner dan lain sebagainya.

Bahkan pada hari Sabtu (22/8/2020) itu, ia memastikan bahwa pekerjaannya saat itu baru melakukan pembongkaran wallpaper saja. Dan saat itu, ia merasa pulang paling akhir, dan ia juga memastikan sudah merapihkan lokasi sebelum meninggalkan tempat kerjanya itu sekitar pukul 17.00 WIB.

“Waktu itu baru bongkar wallpaper doang, belum ada pemasangan. Baru hari pertama. Jam 5-an itu belum ada apa-apa sih, nggak ada yang aneh, saya tinggal juga dalam kondisi rapih, nggak ada sampah atau apa, pokoknya rapih deh. Cuma jam 19.00 kalau ruang yang saya kerjain itu wallpepernya kebakaran,” kisanya.

Mendapati kabar tempat kerjanya itu terbakar, ia pun langsung diminta segera kembali ke proyek untuk melihatnya secara langsung, sekaligus berjaga-jaga saja ketika nanti harus diminta keterangannya.

Dan ia pun mengaku tak banyak ambil pusing terhadap kasus itu, sampai ia pun akhirnya dijadikan tersangka dan divonis bersalah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebab, saat kasus itu mulai diproses, dirinya tengah fokus pada upaya pengobatan anaknya yang mengidap hidrosefalus di Rumah Sakit Fatmawati.

“Cuman bingung aja sih, dibilang kaget atau gimana dijadikan tersangka perasaan biasa saja, terserah. Dalam hati cuma gini aja, terserah kalian mau ngapain, yang penting saya fokus sama anak saya,” ujarnya.

Pun demikian, sebagai warga negara yang patuh pada hukum yang berlaku di Indonesia, Imam bersedia mengikuti semua proses yang berjalan, mulai dari pemeriksaan oleh tim pengamanan dalam (pamdal) Kejaksaan Agung, kemudian oleh tim penyidik Polres Metro Jakarta Selatan, Polda Metro Jaya sampai ke Bareskrim Mabes Polri.

“Saya masa bodo aja sama kasus itu. Dipanggil saya datang, buat penyidikan inilah, BAP lah atau apalah, saya dateng. Yang penting saya penuhin kewajiban saya sewaktu saya dipanggil, mau putusannya kayak gimana terserah kalian,” sambungnya.

Hanya saja, situasi yang paling membuatnya terpukul adalah ketika sang anak harus menghembuskan nafas terakhirnya. Ia sempat kacau, apalagi sehari pasca anaknya meninggal, ia harus menjalani persidangan perdananya.

“Di sidang pertama anak saya meninggal. Hari Minggu anak saya meninggal, Senin sidang perdana,” terangnya.

Sidang yang Aneh

Imam Sudrajat menyampaikan bahwa sepanjang proses persidangan yang berjalan di PN Jakarta Selatan, ia sempat meragukan keabsahan dari proses hukum yang menjeratnya saat itu. Dimana di dalam proses persidangan, nyaris semua bukti yang memaksanya bersalah justru tidak dihadirkan.

“Janggalnya itu, apinya itu dari mana. Sedangkan pekerjaan kita nggak ada yang berhubungan dengan api. Kelistrikan dan api itu nggak ada. Waktu di Pak Ferdy Sambo bilang CCTV hangus nggak bisa diputar, yang jadi pertanyaan saya bukti hangusnya nggak ditampilkan di persidangan,” ucapnya.

Menurut sepengetahuan dirinya sebagai orang yang awam di dalam perkara hukum, yang disebut bukti adalah barang yang benar-benar ada di dalam peristiwa pidananya. Baik itu bukti fisik maupun bukti elektronik seperri rekaman CCTV dan sebagainya.

“Namanya bukti yang saya tahu, bukti yang ada di lokasi. Bukti rokok, itu rokok baru semua, bungkusnya baru, nggak ada cacatnya. Dan botol thinner yang ditampilin botolnya utuh, botol plastik padahal, sedangkan kaleng aja sampai karatan. Harusnya kebakar, kok ini masih utuh, mulus lagi,” tambah Imam.

Hanya saja, ia membagikan ingatannya, bahwa di akhir proses penyidikan di Bareskrim Polri, ia sempat melihat Ferdy Sambo yang saat itu merupakan Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) masuk ke area penyidikan. Hanya saja, ia saat itu melihat Ferdy Sambo hanya berkomunikasi dengan kuasa hukumnya saja.

“Di terakhir penyidikan, pak FS sempat masuk juga, itu komunikasinya sama kuasa hukum,” tandasnya.

Dan keanehan lainnya dari kasusnya adalah, dirinya sama sekali tidak pernah diberikan salinan pledoi dari kuasa hukumnya.

“Saya minta salinan pledoi saya nggak dikasih, sama kuasa hukum. Yang dikasih salinan pledoi itu hanya mandor, (katanya) keterangan isinya sama kok mas,” ucapnya.

Sekedar diketahui Sobat Holopis, bahwa pada hari Sabtu 22 Agustus 2020 pukul 18.15 WIB, gedung Kejaksaan Agung RI terbakar hebat. Kebakaran tersebut bahkan membuat satu gedung ludes dilalap di jago merah.

Ada 5 (lima) orang yang akhirnya diproses di dalam kasus tersebut. Mereka adalah para pekerja bangunan yang terdiri dari ; Imam Sudrajat, Sahrul Karim, Karta, Tarno, dan Halim.

Para tersangka dikenakan Pasal 188 KUHP jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukumannya 5 tahun penjara. Namun, majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis terhadap kelima terdakwa kasus Gedung Kejaksaan Agung kebakaran itu dengan hukuman 1 tahun kurungan penjara.