HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie menyebut, peran MK dan DPR telah diabaikan dengan penerbitan Perpu Cipta Kerja. Selain itu, Perpu ini bukanlah contoh rule of law yang baik, tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong.
Jimly lalu menyinggung opsi sistem pemilu proporsional tertutup yang sekarang berkembang, di mana 8 fraksi DPR menolak kecuali PDI Perjuangan. Jimly pun menyampaikan kemungkinan bila sikap partai di DPR dapat dibangun pada Perpu Cipta Kerja, seperti halnya pada opsi proporsional tertutup.
“Bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment (pemakzulan),” kata Jimly yang juga Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta ini dalam dalam keterangan tertulis, Rabu (4/1).
Kalau mayoritas anggota DPR siap, kata Jimly, sangat mudah untuk mengkonsolidasikan anggota DPD dalam forum MPR untuk menyetujui langkah impeachment tersebut.
Di sisi lain, Jimly juga bicara soal kemungkinan Perpu Cipta Kerja tersebut memang sengaja terbit untuk menjerumuskan Jokowi untuk diberhentikan di tengah jalan. Jika ada sarjana hukum yang ngotot memberi pembenaran pada Perpu Cipta Kerja ini, kata Jimly, maka tidak sulit baginya untuk memberi pembenaran untuk terbitnya Perpu Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan.
“Semua ini akan jadi puncak konsolidasi parpol untuk mengambil jarak dan bahkan memberhentikan Jokowi dari jabatannya,” tutur Jimly.
Oleh sebab itu, ia menyarakan semua pihak kembali setia dan tidak mengkhianati norma tertinggi yang sudah disepakati, yaitu, Pancasila dan UUD 1945.
Pemerintah, kata Jimly, juga harus memanfaatkan kesempatan yang diberikan MK untuk merevisi UU Cipta Kerja selama 2 tahun. Saat ini masih ada waktu 7 bulan sebelum tenggat waktu November 2023.
Pemerintah, kata dia, tinggal menyusun UU baru dalam waktu 7 bulan dan memperbaiki substansi yang dipersoalkan masyarakat. Sekaligus, membuka ruang partisipasi publik yang berarti dan substansial sesuai amar putusan.
“Tidak perlu membangun argumen adanya kegentingan memaksa yang dibuat-buat dengan menerbitkan Perpu dalam kegemerlapan malam tahun baru yang membuat kaget semua orang,” imbuh Jimly.
Jimly mengingatkan bahwa pembentuk Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah DPR, bukanlah presiden seperti era sebelum reformasi. Apalagi, sudah ada putusan MK yang memerintahkan perbaikan UU.
“Bukan dengan Perpu, tapi dengan UU dan dengan proses pembentukan yang diperbaiki sesuai putusan MK,” kata Jimly. “Perpu ini jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stempel,” tandas Jimly.