HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyatakan bahwa memang ia yang menyebut bahwa tragedi Kanjuruhan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) biasa, bukan pelanggaran HAM berat.
“Betulkah saya bilang kasus Tragedi Kanjuruhan bukan pelanggaran HAM Berat? Betul, saya katakan itu Selasa kemarin di depan PBNU dan para ulama di Surabaya,” kata Mahfud MD dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Rabu (28/12).
Status pelanggaran HAM biasa tersebut bukan domain pemerintah untuk menentukannya, melainkan ada lembaga yang memiliki otoritas untuk menentukan apakah sebuah kasus hukum bermuatan pelanggaran HAM berat atau pelanggaran HAM biasa.
“Itu adalah hasil penyelidikan Komnas HAM. Menurut hukum, yang bisa menetapkan adanya pelanggaran HAM Berat atau tidak itu hanya Komnas HAM,” ujarnya.
Ia memahami bahwa banyak sekali yang bereaksi keras terkait dengan statemennya itu. Menurut Mahfud, hal itu terjadi karena masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan definisi tentang pelanggaran HAM berat atau biasa.
“Banyak yang tak bisa membedakan antara pelanggaran HAM Berat dan tindak pidana atau kejahatan. Pembunuhan atas ratusan orang secara sadis oleh penjarah itu bukan pelanggaran HAM Berat, tapi kejahatan berat. Tapi satu tindak pidana yang hanya menewaskan beberapa orang bisa menjadi pelanggaran HAM Berat,” jelasnya.
Kemudian, Mahfud MD juga memberikan penjelasan bahwa selama ini ia memang mempersilakan Komnas HAM untuk ikut terlibat di dalam kasus-kasus besar untuk melakukan penyelidikan dan investigasi secara mandiri.
“Selama menjadi Menko Polhukam, jika ada tindak pidana yang besar saya selalu persilakan Komnas HAM menyelidiki dan mengumumkan sendiri, apa ada pelanggaran HAM Beratnya atau tidak. Misalnya; kasus Wadas, Kasus Yeremia, Tragedi Kanjuruhan, dan lain-lain,” terangnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengambil porsi Komnas HAM tersebut. Jika seandainya pemerintah mengambil kesimpulan sendiri dan sepihak, tentu dikhawatirkan pemerintah akan dianggap melakukan rekayasa. Sehingga semua status itu dibiarkan menjadi domain Komnas HAM sebagai lembaga independen.
“Kalau Pemerintah yang mengumumkan bisa dibilang rekayasa,” tandasnya.