Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof Mohammad Mahfud MD mengingatkan kembali kepada anak-anak muda Indonesia dari sabang sampai merauke, bahwa nasionalisme Indonesia di seluruh anak bangsa adalah satu kesatauan.

Bahkan nasionalisme itu tidak eksklusif satu atau dua agama saja, akan tetapi semua agama juga memiliki nafasi nasionalisme yang sama, termasuk Islam di Aceh.

“Nasionalisme Islam yang muncul dari Aceh. Aceh punya nasionalisme dengan Indonesia itu tidak bisa dipungkiri,” kata Mahfud MD saat memberikan kuliah umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, seperti dikutip Holopis.com, Jumat (23/12).

Mahfud juga mengatakan, bahwa nasionalisme sebenarnya pun sudah disadari oleh para pendahulu bangsa saat ratusan tahun lamanya Indonesia dijajah. Nasionalisme-nasionalisme itu muncul di dalam kidung dan nyanyian rakyat yang pernah ada.

Dimana nyanyian dan kidungan itu banyak memuat makna-makna perjuangan di dalamnya. Bahkan lagu-lagu nasional organisasi termasuk Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah hingga lagi wajib lainnya juga memual serupa.

Kesadaran-kesadaran itu kata Mahfud sebaiknya dipahami dan aktualisasi dalam bentuk yang lebih konkret, yakni bagaimana membangun Indonesia secara bersama-sama di tengah berbagai perbedaan yang ada.

“Kita ingin membangun sebuah geopolitik tertentu yang kita bangun atas dasar kesadaran kita dengan jiwa-jiwa keislaman, Islam yang kosmopolit, Islam yang menerima perbedaan dan mau hidup bersama,” tuturnya.

Nasionalisme dan keislaman punya nafas yang sama

Lebih lanjut, tokoh asal Pamekasan Madura tersebut menyatakan bahwa Islam dan nasionalisme Indonesia sebenarnya satu nafas yang sama.

“Apakah di dalam konsep kebangsaan ini, nafas-nafas keislaman di Aceh, di Jawa dan di tempat-tempat lain yang penganut islamnya banyak, apakah bisa kompatibel dengan nasionalisme Indonesia,” ujarnya.

Jika ditarik ke belakang, isi dari kalimat Rasulullah SAW saat mendirikan negara Madinah dengan kesepakatan Piagam Madinah pada tahun 622 M (1 Hijriyah) sudah sangat jelas, bahwa Nabi sedang tidak mendirikan negara Islam, melainkan negara yang kosmopolit.

بسم الله الرحمن الرحيم: هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النّبِيّ، بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ

Bismillahirrahmaanirrahim. Haadza kitabun min Muhammad Nabiyyin. Bainal mu’minin wal muslimin, min quraisyin wa yatsrib, wa mantabi’ahum falahiqabihim wajaahada ma’ahum.

Artinya : Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang mukmin dan Muslim, baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada segenap warga yang ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan bersama dengan mereka dan telah berjuang bersama mereka.

Dengan melihat isi piagam Madinah itu, Mahfud MD menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sedang membuat persatuan di Negara Madinah Al Munawwaroh bersama dengan orang-orang dari berbagai agama dan suku untuk bisa hidup bersama-sama dan berdampingan.

“Ini proklamasi dari Nabi Muhammad SAW yang mempersatukan orang mukmin, orang islam, orang yatsrib, orang quraish, dan para pengikutinya masing-masing, dengan ini menyatakan bersatu dan berjuang,” tutur Mahfud.

Atas dasar itu, Madinah dideklarasikan menjadi sebuah negara peradaban yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan pasal-pasal yang ditentukan selanjutnya untuk mengatur pola dan sistem kenegaraannya serta melindungi hak-hak dasar warga negaranya.

“Mereka satu, menjadi geopolitik sendiri Madinah itu sebagai civiles society, negara berperadaban. Sehingga sesudah piagam madinah itu Nabi Muhammad membuat 47 pasal piagam Jakarta,” sambungnya.