HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ekonom yang sekaligus Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira memproyeksi nilai tukar atau kurs rupiah terus melemah hingga tembus Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir tahun 2022 ini.

Proyeksi ini salah satunya didasarkan oleh langkah Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) yang masih akan agresif dalam menaikkan suku bunga acuan serta melemahnya permintaan komoditas.

“Kondisi ini terus memicu tekanan kurs ke negara berkembang,” kata Bhima dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Minggu (6/11).

Tak hanya kurs mata uang Garuda, Bhima juga melihat adanya pelemahan pada perekonomian Indonesia karena sejumlah hal. Salah satunya yakni adanya tahun politik pada tahun 2023 hingga 2024 mendatang.

“Moderasi harga komoditas dan resesi global juga akan lebih slow down. Bisa tumbuh 4,5 persen saja sudah bagus,” tukasnya.

Bhma pun menyoroti minimnya kebijkaan fiskal yang diinisiasi. Ia mengatakan bahwa menstabilkan rupiah tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan menaikkan bunga acuan. Menurutnya, pengetatan moneter haruslah dibarengi dengan kebijakan fiskal yang sesuai.

“Sekarang bunga acuan agresif, tapi sisi fiskalnya juga belum ada paket kebijakan. Pemerintah kan sering bilang ada resesi global, tapi kebijakannya tidak nyambung, seolah Indonesia paling kuat sendirian,” ucapnya.

Menurut Bhima, hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan paket kebijakan antiresesi, sementara pertahanan kurs mulai rapuh. Nilai tukar Rupiah selama semester I ditopang harga komoditas.

“Sekarang tanda-tanda kerapuhan terlihat dari Baltic Dry Index (indeks pengiriman kargo kapal) yang anjlok 53,4 persen secara tahunan dan 30,8 persen secara bulanan. Nggak mungkin harga komoditas terus naik, kalau aktivitas kargo yang mencerminkan permintaan global turun,” ucapnya.