HOLOPIS.COM, JAKARTA – Depresiasi atau pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan berlanjut hingga akhir tahun 2022 ini. Hal itu sebagaimana diperkirakan oleh Lembaga riset LPEM FEB Universitas Indonesia (UI).
Dalam risetnya, LPEM FEB UI menyebutkan bahwa pelemahan nilai tukar atau kurs mata uang Garuda ini mengikuti tren arus modal keluar yang saat ini tengah terjadi pada pasar keuangan Tanah Air.
“Depresiasi diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun mengikuti tren arus modal keluar,” tulis LPEM FEB UI yang dikutip Holopis.com dari laman resminya, Jumat (4/11).
Tercatat, nilai tukar mata uang Garuda turun dari yang semula Rp14.300 per USD pada awal 2022, menjadi sekitar Rp15.485 per USD pada 17 Oktober 2022.
Namun demikian, pelemahan nilai tukar rupiah akan relatif terkendali selama Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Indonesia terus menjaga stabilitas rupiah, dengan melakukan intervensi pasar valas melalui transaksi spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder.
“Pelemahan nilai tukar akan terkendali selama BI terus melakukan langkah untuk menjaga stabilitas rupiah,” imbuhnya.
Adapun risiko arus modal keluar kemungkinan akan bertahan hingga akhir 2022. Pasalnya, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi pada sisa pertemuan tahun ini.
Di Indonesia sendiri, arus modal keluar sudah mencapai USD8,13 miliar pada pertengahan Oktober, lebih besar dibandingkan dengan kenaikan suku bunga The Fed pertama kali di awal Maret 2022.
Aksi jual bersih aset obligasi secara besar-besaran berkontribusi pada arus modal keluar, sementara pasar saham terus mencatat pembelian bersih.
Penjualan aset obligasi yang besar tetap bertahan di Triwulan III-2022 meskipun bank sentral negara berkembang, termasuk BI, telah menaikkan suku bunga acuannya.
BI sendiri hingga Oktober 2022 telah menaikkan suku bunga sebesar 125 basis poin (bps). Untuk mengurangi arus modal keluar yang besar pada sisa kuartal 2022, BI dinilai perlu menjaga stabilitas nilai rupiah dengan mengikuti sikap selangkah di depan.
“Pemerintah Indonesia dapat menyiapkan langkah-langkah pelengkap untuk menjaga kondisi makroekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi, di tengah prospek ekonomi global yang suram pada 2023,” tulis riset tersebut.