HOLOPIS.COM, GORONTALO – Kasatgaswil Densus 88 Antiteror Gorontalo, Kombes Pol. Didik Novi Rahmanto mengajak semua pihak untuk terus meningkatkan unsur kewaspadaan di era saat ini. Sebab menurutnya, banyak sekali narasi hoaks, ujaran kebencian yang rentan mendisrupsi sosial.

Hal ini disampaikan oleh Kombes Pol Didik dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan teman “Penguatan Wawasan Keagamaan dan Kebangsaan di Bumi Serambi Madinah” yang digelar di Hotel Grand Q Kota Gorontalo.

“Tantangan kebangsaan kita di era disrupsi ini adalah ditandai menjamurnya narasi kebencian atau hate speech dan hoaks yang berpotensi menciptakan polarisasi serta memecah belah masyarakat,” kata Kombes Pol Didik dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Kamis (27/10).

Ia menuturkan, bahwa tantangan selanjutnya adalah bagaimana manuver kelompok teroris yang saat ini masih banyak tercium. Salah satu pergerakan mereka banyak diindikasi terjadi di ranah digital.

Sehingga demikian, tingkat kewaspadaan dan penguatan literasi menjadi penting dimiliki oleh oleh masyarakat luas, baik lintas generasi maupun latar belakang sosial dan pendidikan, khususnya bagi masyarakat di Gorontalo.

“Waspadai perkembangan global regional terorisme yang akan berdampak pada perkembangan jaringan teror dalam negeri, karakteristik ideologi terorisme, pergeseran aktifitas terorisme yang memanfaatkan jaringan internet dan sosial media hingga potensi radikalisme di wilayah Gorontalo,” tuturnya.

Lebih lanjut, peningkatan literasi tersebut juga bisa dijadikan ajang untuk mendorong diri sendiri menjadi pribadi yang inklusif, sehingga masyarakat di sekitar tidak mudah termakan propaganda dan narasi dari kelompok teroris. Terlebih, propaganda tersebut sering kali menggunakan spektrum agama tertentu.

“Saya mengajak masyarakat bahwa pentingnya membangun kesadaran inklusif dalam bermasyarakat, karena sikap inklusif merupakan cara untuk membangun hubungan antar manusia menjadi lebih serasi dengan memahami sudut pandang yang berbeda-beda,” tandasnya.

Ia ingin moderasi beragama dan berpikir bisa dipahamai dan diterapkan oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk menciptakan harmonisasi antar masyarakat dengan berbagai latar belakang dan perbedaan yang ada.

“Masyarakat inklusif merupakan kondisi masyarakat yang bisa menerima dan menghargai perbedaan, sehingga masyarakat inklusif akan memiliki rasa toleransi yang tinggi dengan menghargai perbedaan yang ada dan tetap bersatu,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bidang Riset FKPT Provinsi Gorontalo, Lukman A.R. Laliyo menyatakan fundamentalisme agama merupakan kecenderungan sikap tidak toleran dalam beragama, menafsirkan teks sakral secara tertutup, disertai dukungan kekerasan dalam menjalankan ajaran agama.

Ada beberapa akibat yang biasanya muncul dari sikap fundamentalis ini, misalnya, menimbulkan prasangka dan kebencian antarumat beragama, mengarahkan pada politik identitas, serta antitoleransi dan keberagaman.

“Umumnya, fundamentalis memiliki persepsi yang mutlak benar, eksklusif, berkelompok, dan menganggap pemerintah sebagai thagut atau sesuatu yang disembah selain Allah,” ujarnya.

Sekedar diketahui, bahwa berdasarkan risetnya, provinsi Gorontalo mayoritas berpenduduk muslim. Pada tahun 2021, jumlah penduduk muslim di daerah ini tercatat 1.017.396 jiwa atau 97,81 persen dari total penduduk.

Kemudian, hasil penelitian terhadap 427 responden beragama Islam di Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa muslim di daerah tersebut cenderung memiliki komitmen pada NKRI, toleransi, serta menerima Pancasila dan UUD 1945 menjadi bagian dari sikap dan pemahamannya sebagai warga negara.

Data lainnya menggambarkan bahwa responden muslim cenderung taat beragama, moderat, dan menghargai keberagaman.

Hal lainnya yang ditemukan dalam riset itu adalah para responden sangat memegang teguh keyakinan atas kebenaran agama, meskipun masih sulit untuk menerima pemimpin yang berbeda agama.

Doktor di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) itu juga mengungkapkan adanya kecenderungan para responden tidak menyetujui sikap fundamentalisme agama. Ini menjadi modal Gorontalo dalam menangkal gerakan radikalisme. Masyarakatnya memiliki karakter kuat sehingga tidak mudah terpengaruh atau larut dalam aksi-aksi terorisme. Adapun terduga teroris yang ditangkap di Gorontalo beberapa waktu lalu, mereka adalah pendatang dan berakulturasi di daerah ini.

Meski demikian, lembaga itu itu masih ingin mengembangkan penelitian tersebut, untuk menelusuri faktor-faktor yang membentuk tatanan masyarakat Gorontalo menjadi toleran.

Sikap toleran penduduk Gorontalo diperkirakan berkaitan dengan kearifan-kearifan lokal yang masih terus dilakoni dalam kehidupan sehari-hari.