HOLOPIS.COM, JAKARTA – Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Muhammad Chatib Basri memandang kondisi perekonomian Indonesia, khususnya di sektor perbankan masih cukup kuat dalam menghadapi ancaman krisis yang ada.
Meski demikian, Chatib mengingatkan Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral Indonesia untuk tetap memantau kondisi perekonomian di Amerika Serikat (AS), mengingat inflasi di negara yang menjadi kiblat ekonomi global itu kini masih cenderung tinggi.
Atas kondisi tersebut, Bank Sentral AS, The Federal Reserve alias The Fed masih berpotensi menaikkan suku bunga acuannya ke level yang lebih tinggi.
“Jika the Federal Reserve menaikkan suku bunga, Bank Indonesia juga harus merespons dengan menjaga paritas dengan cara memperketat kebijakan moneter. Karena jika tidak, dampaknya akan terasa di nilai tukar rupiah,” kata Chatib dalam keterangan resmi yang diterima Holopis.com, Kamis (20/10).
Dia mengingatkan, tingkat suku bunga BI dengan The Fed untuk saat ini masih memiliki gap yang cukup rendah. Bahkan, kata Chatib, perbedaannya berada pada level terendah sepanjang sejarah.
“Saat ini perbedaan suku bunga BI dengan Fed Fund Rate ada di level terendah dalam sejarah” tuturnya.
Pada periode September 2022, BI telah menunjukkan sikap hawkish dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis points (bps) menjadi 4,25 persen, serta menaikkan giro wajib minimum (GWM).
Hal itu merupakan respon BI terhadap langkah The Fed yang telah menaikkan FFR sebanyak 300 Bps ke kisaran 3 persen hingga 3,25 persen, dengan kenaikan 150 Bps yang hanya terjadi selama periode kuartal-III 2022.
Juli lalu, BI juga menaikkan kewajiban minimum GWM rupiah untuk bank umum konvensional (BUK) menjadi 7,5 persen mulai 1 Juli 2022 dan 9,0 persen mulai 1 September 2022.
Kenaikan kewajiban minimum GWM rupiah untuk bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) juga turut dirombak menjadi 6,0 persen mulai 1 Juli 2022 dan 7,5 persen mulai 1 September 2022.
Menurutnya, sektor perbankan kembali menghadapi risiko spillover effect dari resesi global dan juga kenaikan suku bunga AS.
Namun, Chatib menilai kali ini sektor perbankan Indonesia lebih kuat, lebih teregulasi, dan telah belajar banyak dari badai krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1998, 2008, dan 2013, hingga krisis Covid-19 pada tahun 2020 lalu.
Dia melihat, reformasi yang dilakukan pada sektor perbankan sejak 1998 adalah reformasi terpenting yang pernah dilakukan. Sekarang benchmark sektor perbankan mengacu kepada international best practice dan diregulasi dengan ketat, semuanya mengacu pada Standar Basel.
“Oleh karena itu, pada 2008, 2013, dan 2020, kita tidak melihat adanya ‘cegukan’ pada sektor keuangan. Sektor perbankan kita lebih sehat dibanding 1998,” pungkasnya.