HOLOPIS.COM, JAKARTA – 40 Narapidana terorisme dari Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur mengikrarkan kesetiaan mereka terhadap negara Indonesia.

Ke-40 napiter terdiri dari 37 narapidana dari Lapas Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur dan tiga narapidana dari Lapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur.

“Ini momentum yang sangat baik jelang peringatan 77 tahun kemerdekaan negara tercinta. Empat puluh saudara-saudara kita telah kembali kepangkuan NKRI,” kata Thurman Hutapea, Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi, seperti dikutip dari laman Ditjenpas.go.id, Rabu (17/8).

Thurman menyatakan, para napiter tersebut mengikrakan kesetian mereka setelah sebelumnya sempat terpengaruh dengan ajaran yang sesat mengenai terorisme.

“Dengan pernyataan ikrar setia kepada NKRI, berarti narapidana telah siap untuk kembali mencintai NKRI, bersama-sama menjaga Pancasila dengan menghargai perbedaan yang ada, serta memahami bahwa Pancasila bukan hanya berkedudukan sebagai dasar negara Indonesia, tetapi juga ideologi nasional, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan pemersatu bangsa,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar, menerangkan program deradikalisasi tidak akan berhasil tanpa adanya kerja sama antar kementerian/lembaga dan peran serta pemerintah daerah dalam penanggulangan terorisme.

Dalam pelaksanaan upaya deradikalisasi di Indonesia, BNPT memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, baik kementerian/lembaga, akademisi, maupun stakeholder terkait.

“Kegiatan ikrar setia NKRI napiter di Lapas Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur merupakan implementasi kerja sama dalam meningkatkan sinergi, koordinasi, dan komunikasi antara kementerian/ lembaga terkait. Peran aktif dari kementerian/lembaga terkait dalam program kegiatan deradikalisasi diharapkan mengoptimalkan hasil yang didapat demi Indonesia harmoni dan toleran,” kata Boy.

Lebih lanjut Boy mengatakan, ideologi terorisme mengajak individu atau kelompok untuk memusuhi negaranya sendiri, intoleransi, dan benci terhadap orang lain. “Itu jelas bukan jati diri bangsa Indonesia. Tidak diajarkan pula dalam setiap agama yang kita yakini,” tegasnya.