HOLOPIS.COM. JAKARTA – Siapa sih yang tidak tahu panjat pinang? Perlombaan yang kerap dilakukan saat perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus ini adalah yang paling ikonik serta diikuti dan ditonton oleh banyak orang.

Cara mengadakannya memang butuh effort, siapkan sebuah pohon pinang atau bambu yang tinggi, baluri batangnya dengan pelumas yang biasanya berwarna hitam agar licin.

Kemudian siapkan berbagai macam hadiah di atas pohon, dan gantung dengan cara semenarik mungkin.

Para peserta perlombaan akan menyusun rencana untuk mengambil hadiah yang ada di atas.

Peserta akan saling menggendong temannya dengan menyediakan bahu secara berlapis-lapis hingga menggapai hadiah di atas.

Sejarah Panjat Pinang

Ternyata, panjat pinang sudah ada bahkan sejak masa penjajahan Belanda. Saat itu, perlombaan ini diadakan untuk semua hajatan besar seperti hajatan, pernikahan, dll.

Namun biasanya, panjat pinang diadakan setiap tanggal 31 Agustus untuk merayakan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina.

Panjat Pinang di zaman Belanda
Panjat Pinang di zaman Belanda (Foto: Komunitas Historia)

Berbeda dengan hadiah-hadiah panjat pinang yang sering kita temui sekarang ini, seperti baju, payung, bahkan alat elektronik, pada zaman Belanda hadiah yang digantung berupa beras, roti, tepung, serta baju.

Hal itu karena masyarakat Indonesia yang masih kekurangan, dan bahan-bahan pokok merupakan sebuah kemewahan.

Jika ada masyarakat pribumi yang terjatuh, maka para penonton Belanda akan tertawa dan terhibur.

Lomba Kontroversial yang Dipertahankan

Karena sejarah kelamnya, banyak yang menentang perlombaan panjat pinang dan mengatakan bahwa ini hanya akan kembali membuka luka warga Indonesia yang sudah kering dari penjajahan Belanda.

Namun, sebagian orang justru masih menganggap panjat pinang sebagai bentuk dari mengingat perjuangan bangsa dalam melawan penjajahan.

Lomba ini juga dinilai sebagai gambaran dari kerja sama, semangat, dan rasa pantang menyerah untuk menggapai sesuatu yang diinginkan.