HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa kondisi dunia pada saat ini sedang tidak baik-baik saja. Hal ini lantaran kenaikan harga atau inflasi yang melonjak di sejumlah negara.

“Dunia sedang tidak baik-baik saja. Inflasi di berbagai negara melonjak sangat tinggi,” kata Sri Mulyani, Jumat (29/7).

Sri Mulyani kemudian mengatakan bahwa lonjakan inflasi tersebut membuat otoritas moneter, atau yang dalam hal ini bank sentral di sejumlah negara memperketat kebijakan moneternya. Kebijakan itu diantaranya yakni pengetatan likuiditas hingga peningkatan suku bunga.

Ketika banyak bank sentral menaikkan suku bunga acuan, sementara Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan bunga acuan di level 3,5 persen, maka arus modal asing berpotensi keluar (capital outflow) dari berbagai instrumen investasi di dalam negeri. Mulai dari saham hingga Surat Berharga Negara (SBN).

“Banyak hubungannya dengan inflasi itu maka otoritas moneter berbagai negara lakukan respons kebijakan, mengetatkan likuiditas dan meningkatkan suku bunga, ini akan menyebabkan arus modal keluar,” tuturnya.

Tak hanya itu, kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral di sejumlah negara juga berpotensi menekan ekonomi global. Sebab, hal itu akan membuat bank ikut-ikutan menaikkan suku bunga kreditnya.

Alhasil, bunga kredit dari bank menjadi semakin mahal. Pengajuan kredit dari individu atau industri biasanya berkurang ketika bunga kredit mahal, sehingga aktivitas ekonomi rentan melambat.

“Kalau seandainya kenaikan suku bunga acuan dan likuiditas cukup, maka pelemahan ekonomi global masih terjadi,” terang Sri Mulyani.

Efek dari kenaikan inflasi ini sudah terlihat secara nyata di Amerika Serikat (AS). Hal itu dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi di AS yang minus 0,9 persen pada kuartal II 2022.

Secara teknikal, AS seharusnya sudah resmi masuk ke jurang resesi. Sebab ekonomi AS pada kuartal I-2022 juga minus 1,4 persen. Dengan demikian, ekonomi AS mengalami minus selama dua kuartal berturut-turut dalam satu tahun.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi China juga tercatat mendekati nol persen pada kuartal II 2022, atau lebih tepatnya hanya tumbuh 0,4 persen.

Belum lagi perang Rusia-Ukraina yang ikut menambah beban bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

“Perang Rusia-Ukraina, perang di Eropa sebelah sana dampaknya ke seluruh dunia. Krisis pangan, krisis energi,” kata Sri Mulyani.

Seperti diketahui Rusia merupakan salah satu produsen energi terbesar di dunia. Sementara, Ukraina sendiri merupakan salah satu produsen pangan dan pupuk terbesar di dunia.

Jika kedua negara tersebut masih terus berseteru, maka dipastikan ekonomi di sebagian negara Eropa juga turut mengalami pelambatan. Terlebih, Rusia sudah mengurangi pasokan energi ke Eropa. yang membuat harga energi maupun pangan menjadi mahal dan berujung pada krisis energi dan pangan.

Sri Mulyani menjelaskan, bahwa semua itu akan mempengaruhi ekonomi Indonesia. Sebab, jika ekonomi AS, China, dan negara-negara Eropa melambat maka permintaan ekspor dari Indonesia akan berkurang.

“AS, China, dan Eropa adalah negara tujuan ekspor Indonesia. Jadi kalau mereka melemah, permintaan ekspor menurun, harga komoditas turun,” jelas Sri Mulyani.