HOLOPIS.COM, JAKARTA – Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus dosen di Monash University Australia, KH Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir menantang Muhammad Said Didu debat terbuka tentang Islamofobia yang masih menjadi narasi untuk mendiskreditkan pemerintahan saat ini.

“Monggo Om @msaid_didu silakan dibedah: kebijakan pemerintah RI yang mana yang anda anggap termasuk islamophbia?,” kata Gus Nadir melalui akun twitter resminya @na_dirs, Rabu (20/7).

Bahkan ia pun menyarankan agar sekaligus mengundang Menteri Koordinator bidang Politik,Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mohammad Mahfud MD untuk ikut memberikan pendapatnya tentang tudingan Islamophobia yang dilontarkan Said Didu itu.

“Sekalina kita ajak Prof @mohmahfudmd dalam diskusi ini sebagai wakil dari pemerintah,” usulnya.

Awal mula perdebatan

Sebelumnya, gesekan narasi antara keduanya ini bermula saat Gus Nadir membuat postingan di Twitter bahwa tidak ada Islamofobia di Indonesia. Hal ini karena syariat Islam di Indonesia pun bisa dijalani dan umat Islam bebas menjalankan ibadah sesuai dengan syariat yang telah diajarkan diimani, serta dibedomani.

“Gak ada Islamofobia. Presiden sudah naik haji, bahkan masuk ka’bah dam Nabi Muhammad. Wapresnya ulama besar. Rukun iman – Rukun Islam semuanya bisa dijalankan & difasilitasi di Indonesia,” kata Gus Nadir.

Menurutnya, Islamofobia itu hanya narasi yang dimunculkan oleh beberapa politisi yang hanya memanfaatkan emosi umat dengan embel-embel keagamaan.

“Yang ada itu, politisi jualan emosi umat. Ayo cerdaskan umat, jangann mau dibohongi terus,” lanjnya.

Tweet ini kemudian disenggol oleh Said Didu. Ia menuding bahwa narasi tersebut adalah contoh dari cendekiawan kanebo, sampai-sampai ia membuat hastag #cendekiawankanebo di twitter, sehingga komentar Didu itu ramai direspon publik.

“Beginilah salah satu contoh ulasan #cendekiawankanebo,” tulis Didu.

Mendapati reaksi dan mantion begitu banyak usai direspon Didu, Gus Nadir pun memberikan tanggapannya. Ia menilai tak ada pandangan yang berbeda antara dirinya dengan Ketua bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhammad Cholil Nafis soal perspektif Islamofobia.

“Follower Kiai @cholilnafis kok rendah literasinya, sibuk mention kami seolah Kiai Cholil bertentangan dengan kami. Kalau saja klik link artikelnya, mereka akan temukan Kiai Cholil pun bilang tak ada islamophobia di Indonesia. Gimana Om @msaid_didu? Apa beliau juga #cendekiawankanebo?,” kaya Gus Nadir.

Kemudian saat dilihat apa yang menjadi concern KH Cholil Nafis, diketahui bahwa pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok itu menganggap bahwa Islamofobia itu tidak ada di Indonesia. Hal ini karena tidak ada orang ditindas hanya karena ia beragama Islam.

“Gimana mau Islamophobia, wong para pejabatnya mayoritas muslim,” kata Cholil Nafis yang diposting Kumparan pada 30 November 2018 yang dirujuk di dalam perdebatan ini.

Selanjutnya, masih di dalam komentar kiai Cholil Nafis kala itu, ia menyebutkan bahwa soal maraknya demonstrasi bernuansa Islam akhir-akhir ini, serta banyaknya pelaporan pelanggaran hukum yang berhubungan dengan ulama menurut Cholil hanya karena persaingan merebut kekuasaan saja.

“Saya melihatnya bukan phobia, Islam tak memukul lawan. Kalau Islam seperti Kiai Maimoen Zubair, Gusmus, Habib Lutfi dan saya ya baik-baik saja,” ungkapnya.

Kendati demikian, kiai Cholil menjelaskan, ceramah mengkritik pemerintah diperbolehkan bahkan dianjurkan. Namun, ceramah harus menyampaikan kebenaran tanpa merendahkan orang lain.

Selain itu, kiai Cholil Nafis menegaskan, penceramah harus hati-hati dalam memilih diksi agar tak disalahpahami oleh umat, yang paling utama adalah mengikhlaskan niat dan dakwah untuk mengajak pada kebaikan.

“Boleh (mengkritik pemerintah) bahkan dianjurkan untuk amar ma’ruf dan nahi munkar tapi yang dikritik itu kebijakannya bukan fisiknya yang karunia Allah SWT,” pungkasnya.

Lanjut persedebatan Gus Nadir dan Said Didu

Said Didu tak sependapat dengan perspektif Gus Nadir yang menganalogikan bahwa ketiadaan islamofobia di Indonesia karena para pemimpinannya banyak yang Islam dan sudah haji. Termasuk sepaket dengan ia tak sependapat bahwa yang ada adalah para politisi yang jualan emosi umat dengan konten agama.

“Saya ulangi : Masalahnnya adalah cara anda menarik kesimpulan bhw tdk ada islamophobia krn Presiden sdh naik haji. Ilmuwan spt anda tdk pantas menarik kesimpulan dari simbolik. Mungkin justru buat kesimpulan utk emosi massa demj kepentingan politik dan itulah #cendekiawankanebo,” tulis Dudi.

Kemudian, Gus Nadir pun kembali mempertanyakan perspektif Said Didu mengapa menyebut dirinya sebagai cendekiawan kanebo.

“Monggo Om @msaid_didu silakan dibedah: kebijakan pemerintah RI yg mana yg anda anggap termasuk islamophobia? Sekalian kita ajak Prof @mohmahfudmd dalam diskusi ini sbg wakil dr pemerintah,” respon Gus Nadir.

Lalu, respon Gus Nadir itu pun masih ditanggapi oleh Dudi. Ia menyanggupi jika diajak debat dan diskusi terbuka dengan melibatkan Mahfud MD jika perlu.

“Bagus, tapi bukah hanya kebijakan tapi pembiaran dan ketidakadilan. Mohon jangan suka jumping conclution hanya karena memuji penguasa. Kalau cendekiawan mengambil kesimpulan dari pemujaan atau pembenaran kekuasaan apalagi hanya simbol, saya istilahkan #cendekiawankanebo,” tulis Didu.

Di sisi lain, Gus Nadir pun menyindir kapasitas Said Didu ketika memberikan label Islamofobia.

“Kalau yg blg kebijakan pemerintah RI islamophobia itu Ketum PBNU, Ketum PP Muhammadiyah, Ketum MUI, Imam Besar Masjid Istiqlal, Gus Mus, Prof Quraish Shihab kita anggap ini beneran. Tp kalau yg ngomong @msaid_didu Fadli Zon, Ferry, Tofa ya kita tahulah kapasitas mrk bukan ulama😄,” tulis Gus Nadir.