Rabu, 27 November 2024
Rabu, 27 November 2024

Tren Apatisme Politik di Indonesia

Holopis.com Secara sederhana, politik dipahami sebagai rangkaian strategi berisi tujuan-tujuan yang erat kaitannya dengan kekuasaan, pembuatan kebijakan, pengambilan keputusan politik, serta kepentingan lain yang memuat tujuan-tujuan tertentu. Miriam Budiardjo dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik” menyebutkan bahwa politik terkait dengan konsep pokok yang meliputi: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid) dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).

Dalam suatu negara, aspek politik memegang fungsi serta peran yang cukup penting. Saking pentingnya, politik memiliki standing dan andil penting dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan aspek-aspek lain yang bersifat publik maupun privat, seperti ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, hukum, agama, hubungan luar negeri dan politik kenegaraan itu sendiri. Sebagai bumbu-bumbu dalam dapur kebijakan, tidak heran apabila politik sering dicitrakan dengan narasi kericuhan, perebutan kekuasaan dan pertentangan atau conflict of interest. Jika memahami politik secara realitas, tentu hal tersebut merupakan hal yang wajar mengingat setiap elit politik memiliki pandangan atau kepentingan yang berbeda-beda.

Dalam tataran praktis, kekuasaan dan juga relasi yang dimiliki politisi memungkinkan adanya praktik politik yang mengarah pada abuse of power, sehingga tidak menutup kemungkinan akan memunculkan kebijakan politik yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, sistem politik perlu diimbangi dengan mendorong adanya controlling dan partisipasi politik dari masyarakat. Menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1990) dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan Politik di Negara Berkembang”, partisipasi politik didefinisikan kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi (private citizen) yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.

Dalam konteks Indonesia, partisipasi politik kerap dipahami secara sempit sebagai mekanisme rakyat untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat pada kontestasi pemilihan umum. Anggapan tersebut memang tidak salah, namun seiring berkembangnya waktu partisipasi politik telah menjelma dalam beragam bentuk yang tidak hanya persoalan hak politik dalam pemilihan umum. Bentuk perwujudan lain partisipasi politik seperti aksi demonstrasi sebagai cara untuk menyampaikan protes dan berpendapat di muka umum, adanya diskusi-diskusi publik yang membahas kebijakan politik, adanya aksi kampanye ataupun tuntutan rakyat melalui petisi, aksi mogok massal, adanya audiensi atau penyampaian aspirasi kepada wakil rakyat, dan masih banyak lagi.

Kondisi di atas menunjukkan bahwa negara demokrasi yang salah satunya Indonesia memiliki banyak bentuk partisipasi politik warga negara dan tidak terbatas pada kontestasi pemilihan umum semata. Namun, meski Indonesia menerapkan demokrasi yang menetapkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, keadaan lain menunjukkan bahwa partisipasi politik publik masih belum berjalan secara maksimal. Hal tersebut dapat diamati dari data-data yang dirumuskan dalam bentuk asumsi politik dimana publik banyak menunjukkan sikap apatis terhadap politik. Padahal, politik adalah aspek yang sangat memengaruhi dinamika sosial masyarakat dan memberikan impact yang cukup kuat.

Publikasi Data

Survei terbaru LPMM (Lembaga Penelitian Masyarakat Milenium) menyatakan sekitar 72,9% masyarakat Indonesia mengaku tidak tertarik terhadap berita-berita politik dan pemerintahan. Sedangkan masyarakat yang tertarik dengan berita politik dan pemerintahan hanya sekitar 20,3% dengan tingkat kepercayaan survei sebesar 95% dan margin of error kurang lebih 2,19%. Survei sejenis juga dilakukan Indikator Politik Indonesia pada tahun 2013 yang menunjukkan dari 2.290 orang yang menjadi responden menyatakan 67% mengaku tidak tertarik dengan isu atau berita yang berkaitan dengan politik. Tidak hanya itu, survei tersebut juga menunjukkan bahwa 58% masyarakat tidak percaya pada institusi politik, seperti partai politik, politisi, DPR, Presiden, dan Menteri.

Pada tahun 2018, Alvara Research Center juga melakukan publikasi survei politik yang berkenaan dengan pilpres (Pemilihan Presiden) 2019. Survei tersebut menyatakan bahwa hanya 22% generasi milenial yang menyukai pemberitaan politik. Dalam penjelasannya, mereka yang tidak menyukai pemberitaan politik menganggap bahwa politik merupakan hal yang kaku dan membosankan. Bahkan publikasi survei teranyar dari SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) juga menunjukkan data apatisme publik terhadap politik. Dalam kaitannya dengan pemilihan calon presiden sebelum pandemi Covid-19 merebak, responden yang tidak memilih calon presiden sebesar 23,8%. Pada Desember 2020 persentase naik menjadi 31,5%.

Mengamati data-data di atas, nampaknya apatisme politik terus merangkak menjadi tren di kalangan publik. Namun, berdasarkan penelusuran penulis nyatanya apatisme politik bukanlah isu baru. Jika memaknai partisipasi politik secara sempit pada tataran pemilu, tren pasang surut partisipasi politik publik telah terjadi sejak lama. Pada pemilu pertama tahun 1955, persentase pemilih mencapai angka 91,4% dan golput (golongan putih) hanya 8,6%. Menurut Herbert Feith dalam bukunya “The Indonesian Election of 1955” menyebutkan pemilu 1955 sebagai pemilu paling demokratis meski Indonesia belum mempunyai pengalaman berdemokrasi. Pada era Orde Baru tahun 1971, persentase pemilih mencapai 96,6%. Sedangkan pemilu 1977 dan pemilu 1982 memiliki persentase pemilih yang sama yakni 96,5%. Pada pemilu 1987, tingkat partisipasi pemilih mencapai 96,4 persen, pemilu 1992 mencapai 95,1% dan terakhir pemilu 1997 pada era Orde Baru mencapai 93,6%.

Pada pemilu 1999 pasca reformasi, tingkat partisipasi pemilih mencapai 92,6% dan mengalami penurunan pada 2004 sebesar 84,1%. Penurunan kembali terjadi pada pileg (Pemilihan Legislatif) tahun 2009 sebesar 70,9% dan pilpres 71,7%. Pada pileg 2014, partisipasi pemilih mencapai 72% dan Pilpres mencapai 69,58 persen. Terbaru pada 2019 hasil pemilu menunjukkan kenaikan partisipasi pemilih sebesar 81%. Artinya persentase pemilu 2019 mengalami kenaikan sebesar 10% dibanding pemilu 2014. Data-data tersebut di atas dapat menjadi gambaran bahwa partisipasi politik dan apatisme politik cenderung mengalami pasang surut.

Legitimasi Kekuasaan

Dalam negara demokrasi dengan corak representatif, banyak anggapan apabila tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu akan memperkuat legitimasi kontrol serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan partisipasi pemilih akan menurunkan kualitas demokrasi dan rawan menghasilkan keputusan politik yang berkualitas. Menurut penulis, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal ini dapat dibuktikan pada angka partisipasi pemilihan umum di era Orde Baru yang selalu di atas 90%. Selama 32 tahun itu pula, hampir pasti bahwa penyelenggaraan pemerintahan bejalan secara stabil dan sebagian menganggap cara-cara yang diterapkan rezim Orde Baru adalah legitimate. Padahal, realitas menunjukkan bahwa pada masa itu sangat kental dengan manuver dan rekayasa politik secara otoriter. Oleh karena itu, data dan argumentasi tersebut menjadi gambaran bahwa perlu memahami partisipasi politik secara luas, tidak hanya bertatar pada aspek partisipasi dalam pemilihan umum dan melegitimasi kekuasaan.

Berdasarkan penjabaran tentang partisipasi dan apatisme politik di atas, lebih lanjut Penulis meminjam pendapat Ramlan Surbakti (1992) bahwa terdapat dua variabel yang memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat. Pertama, aspek kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua, menyangkut bagaimana penilaian serta apresiasi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pemerintahnya. Pada aspek kesadaran politik, masyarakat benar-benar menyadari pentingnya melaksanakan hak dan kewajiban warga negara yang diejawantahkan dalam bentuk partisipasi politik, entah melalui pemilu atau bentuk partisipasi politik yang lain.

Secara ideal, hak dan kewajiban warga negara tentu harus berjalan secara seimbang. Hal ini dikarenakan partisipasi politik akan sangat berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-hak masyarakat oleh negara serta kewajiban yang harus dijalankan oleh masyarakat kepada negara. Apabila masyarakat memilih sikap apatis terhadap politik, tentu akan timbul potensi pelanggaran pemenuhan hak warga negara ataupun kebijakan publik yang diterapkan secara sewenang-wenang dan merugikan masyarakat. Maka, kesadaran politik menjadi kunci penting serta upaya awal untuk mendorong partisipasi politik yang lebih banyak dan lebih baik. Di sisi lain, apresiasi atas kinerja tokoh politik tertentu juga menjadi faktor penting munculnya kepercayaan politik publik yang berimbas pada tren peningkatan partisipasi politik publik. Tokoh politik yang kinerjanya dianggap baik dan berkualitas dapat mendorong peningkatan controlling and participation publik. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan terciptanya pemenuhan hak-hak masyarakat berupa kebijakan yang mengakomodir kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Faktor Penyebab

Dari segi apatisme politik, Morris Rosenberg dalam Michael Rush menjelaskan tiga alasan pokok munculnya tren apatisme politik oleh warga negara, antara lain: (i) ketakutan muncul konsekuensi negatif dari aktivis politik berupa ancaman dari aktivis politik untuk kehidupannya; (ii) muncul anggapan ketika orang-orang berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan hal yang tidak berguna alias sia-sia, hal ini dikarenakan berpartisipasi dalam politik tidak akan memberikan dampak signifikan atau bahkan keuntungan pada proses politik; dan (iii) karena tidak adanya ketertarikan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, hal ini dikarenakan politik bukanlah hal yang harus ditekuni sehingga lebih baik melakukan kegiatan lain. Selain dari ketiga faktor tersebut, penulis menambahkan faktor lain berupa krisis kepercayaan publik terhadap tokoh politik atau sistem politik yang sedang berjalan. Hal tersebut disebabkan karena kebijakan politik yang ditetapkan melanggar undang-undang ataupun tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat, seperti terjerat korupsi, penyuapan, perbuatan kriminal, ucapannya yang kontroversial, sikap politik yang cenderung tidak pro pada kepentingan publik, dan masih banyak lagi.

Denny JA dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menuturkan bahwa salah satu ciri negara demokrasi yang sehat adalah tingginya kepercayaan (trust) publik terhadap lembaga-lembaga yang mengandung legitimasi politik terhadap aneka kebijakan yang diputuskan. Lebih lanjut, Denny JA menuturkan empat faktor penyebab rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi atau lembaga politik, antara lain: pertama, masifnya narasi kampanye negatif yang menyerang kredibilitas lembaga politik baik dalam bentuk pernyataan tokoh tertentu maupun bahan kampanye yang diedarkan secara masif. Kedua, maraknya kasus korupsi pejabat politik/publik seperti kepala daerah, ketua umum partai politik, anggota DPR dan DPD, Menteri, hakim konstitusi, dan penegak hukum lainnya, sehingga hal ini meningkatkan sentimen negatif terhadap lembaga-lembaga negara. Ketiga, politik media sosial yang ekstrem juga menjadi salah satu medium utama kampanye menjadi sumber informasi dan propaganda dalam pertarungan politik. Hal tersebut marak didukung dengan beredarnya konten-konten yang validitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Keempat, setiap diselenggarakannya konstelasi politik marak terjadi fenomena pembelahan politik di level akar rumput yang saling serang menyerang antar pendukung hingga ke isu agama.

Konsolidasi Ideal Partai Politik

Berdasarkan pemaparan di atas, tentu diperlukan suatu refleksi untuk memahami kembali konteks politik serta makna dan tujuan politik secara komprehensif. Berangkat dari adanya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya kontrol politik, akan mengantarkan pada perbaikan sistem politik yang terjadi secara perlahan. Adanya mekanisme controlling dan juga partisipasi politik akan mendorong terciptanya kualitas kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Meskipun sikap reflektif sangat sulit untuk dilakukan secara merata dan cepat, setidaknya dengan lahir kelompok-kelompok masyarakat yang konsisten mengawal dan mengevaluasi kebijakan politik pemerintah akan ikut memberikan imbas pada upaya pemenuhan hak-hak masyarakat secara luas.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi, Indonesia tentu memiliki peluang yang lebih besar dalam menguatkan konsolidasi politik (empowering the politic consolidation). Secara realitas, aktor yang dapat memperkuat konsolidasi politik adalah partai politik. Sebagai aktor utama, partai politik memiliki banyak ruang melakukan pembenahan sistem politik melalui praktik-praktik politik, entah di internal parpol, kader partai di DPR, maupun di eksekutif. Peran penting parpol tersebut tentu harus difungsikan secara ideal untuk memobilisasi rakyat berpartisipasi dalam pemilu, melakukan berbagai agregasi kepentingan rakyat, serta mempersiapkan para calon pemimpin yang berkualitas (Asrinaldi, 2014).

Mengembalikan Kepercayaan Publik

Dari penjelasan di atas, penulis menekankan bahwa tren apatisme politik karena sikap masyarakat yang tidak percaya pada politisi dan juga institusi politik. Untuk membenahi rendahnya kepercayaan tersebut, tentu harus diawali dengan membenahi institusi-institusi politik yang pro terhadap demokrasi dan kepentingan rakyat. Selama ini, beberapa survei menunjukkan institusi politik selalu menempati urutan terbawah serta minim kepercayaan publik. Maka, sudah semestinya hal itu menjadi catatan penting bagi politisi dan juga institusi politik untuk menciptakan iklim persaingan politik secara fair dan menghindari cara-cara yang tidak sehat.

Sebagai mesin demokrasi, perlu ditekankan bahwa partai politik juga perlu memberikan edukasi serta teladan politik yang baik kepada masyarakat. Mengingat apatisme politik juga berangkat dari minimnya edukasi dan literasi politik masyarakat, sehingga ketidaktahuan dan rendahnya pemahaman terhadap isu politik berimbas pada rendahnya partisipasi politik publik. Manakala edukasi dan literasi politik masih rendah, tentu proses konsolidasi politik dan demokrasi akan terus mengalami anomali yang destruktif dan jauh dari kata ideal. Oleh karena itu, perbaikan mendasar adalah perbaikan institusi politik termasuk memperbaiki demokrasi internal partai politik.

Temukan kami juga di Google News lalu klik ikon bintang untuk mengikuti. Atau kamu bisa follow WhatsaApp Holopis.com Channel untuk dapatkan update 10 berita pilihan dari redaksi kami.

berita Lainnya
Related

Mengenal 7 Langkah Proses Audit Kepabeanan dan Cukai

Apabila perusahaan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan di...

Solusi atau Beban? Analisis Perencanaan Kebijakan Cukai Plastik di Indonesia

Di era modern, masalah lingkungan semakin menjadi sorotan, khususnya...

Mengadaptasi Kebijakan di Irlandia : Potensi dan Tantangan Cukai Plastik di Indonesia

Laporan dari McKinsey and Co dan Ocean Conservancy (2019)...
Selamat Bekerja Prabowo Gibran
Selamat Bekerja Prabowo Subianto
Bawaslu RI 2024

Berita Terbaru