JAKARTA – KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) diminta mengusut dugaan keterlibatan mantan Ketua KPK, Firli Bahuri dalam upaya merintangi atau menghalang-halangi pengkapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan buron Harun Masiku beberapa tahun silam.
Firli bahkan disebut sudah patut dimintai pertanggungjawaban hukum. Hal ini speerti ditegaskan oleh mantan Penyidik Senior KPK Praswad Nugraha.
Praswad menyampaikan hal itu sekaligus merespon kesaksian Penyidik KPK AKBP Rossa Purbo Bekti dalam persidangan perkara dugaan perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (9/5/2025). Selain Firli, kata Praswad, KPK yang kini dikomandoi Setyo Budiyanto Dkk, harus berani memanggil dan memeriksa pimpinan KPK lain era Firli.
“KPK tidak hanya wajib memanggil Firli Bahuri dan jajaran pimpinan pada era Firli Bahuri saja, namun juga wajib menetapkan status tersangka kepada Firli Bahuri sebagai bentuk dari manifestasi asas equality before the law atau perlakukan sama di hadapan hukum,” ungkap Praswad Nugraha dalam keterangannya, seperti dikutip Holopis.com, Sabtu (10/5/2025).
“Jangan sampai KPK dikatakan menjadi tidak objektif untuk menegakkan hukum jika terkait dengan pimpinannya sendiri, maka dari itu segera tetapkan tersangka Firli Bahuri atas tindakan menghalang-halangi operasi tangkap tangan Harun Masiku dkk,” tegas Praswad menambahkan.
Dikatakan Praswad, kesaksian penyidik Rossa adalah fakta persidangan yang kemudian menjadi alat bukti sebagaimana diatur di dalam pasal 185 ayat 1 KUHAP. Praswad menilai, kesaksian tersebut saat ini sudah berkekuatan sebagai Alat Bukti.
“Berdasarkan fakta persidangan tersebut terungkap bahwa tidak hanya Hasto yang melakukan perintangan penyidikan, namun justru Ketua KPK yang saat itu dijabat oleh Firli Bahuri yang menjadi pelaku utama perintangan penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh KPK dan membahayakan keamanan jiwa dan keselamatan para penyelidik dan penyidik yang saat itu sedang bekerja,” ujar Praswad.
“Firli Bahuri diduga tidak hanya melanggar pasal 21 perintangan penyidikan, namun berdasarkan Pasal 67 UU KPK jika pimpinan KPK melakukan perbuatn korupsi (termasuk didalamnya menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi) maka hukumannya harus diperberat dengan menambah 1/3 dari ancaman pokok,” kata Praswad.
Hal tak jauh berbeda juga disampaikan mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Novel menegaskan, KPK saat ini harus berani memeriksa Firli terkait Obstruction of Justice (OoJ) atau tindakan yang secara sengaja menghalangi, menghambat, atau mengintervensi proses penegakan hukum. Hal itu sekaligus untuk mengonfirmasi dugaankasus besar dibalik kasus Harun Masiku dan Hasto.
“Dengan terungkapnya dipersidangan, artinya nanti bisa menjadi pengembangan perkara. Terutama bila bisa diketahui apakah benar ada kasus besar dibalik kasus Harun Masiku dan Hasto. Dan apa motif dari Firli Bahuri melakukan OOJ tersebut. (KPK yang diketuai Setyo Budiyanto) harus berani (memeriksa Firli Bahuri),” ujar Novel.
Penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dalam persidangan menyebut Firli Bahuri saat menjabat Ketua KPK menyebarluaskan kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) pada 2019 silam ke publik secara sepihak. Padahal, kata Rossa, OTT saat itu belum berhasil menangkap Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku.
“Pada saat itu, kami dapat kabar melalui posko bahwa secara sepihak pimpinan KPK, Firli mengumumkan terkait adanya OTT,” ucap Rossa saat bersaksi untuk terdakwa Hasto Kristiyanto.
Saat itu Rossa bersama tim satgas mempertanyakan mengapa Firli secara sepihak mengumumkan ke publik adanya OTT. Padahal, saat itu objek tangkap tangan, Harun Masiku belum tertangkap. Hal itu juga yang mengakibatkan Harun Masiku buron hingga saat ini.
“Itu kami ketahui dari posko, dari kasatgas kami dan itu dishare juga dalam grup, kami juga mempertanyakan pada saat itu, sedangkan posisi pihak-pihak ini belum bisa diamankan, kenapa sudah diinformasikan ke media, atau dirilis informasi terkait adanya OTT,” kata Rossa.
Jaksa KPK dalam persidangan awalnya mendalami jejak ponsel Hasto yang dilakukan penelusuran posisi. Pada saat melakukan pengejaran terhadap Hasto, kata Rossa, pihaknya mendapatkan informasi transkrip percakapan antara satpam di kantor DPP PDIP, Nurhasan, dengan Harun Masiku.
“Di tengah-tengah pengejaran itu kami mendapatkan informasi transkrip percakapan antara Nurhasan dengan Harun Masiku yang mengatakan untuk ditenggelamkan handphonenya itu, dan dalam posisi ketemuan di suatu tempat,” ujar Rossa.
Percakapan antara Nurhasan dan Harun Masiku itu terjadi pada 8 Januari 2020 sekitar pukul 18.00 WIB.Rossa mengatakan jejak posisi Hasto dari ponsel itu tak terekam lagi yang kemudian diikuti ekspose kegiatan OTT oleh Firli.
Dijelaskan Rossa, tim satuan tugas (satgas) OTT KPK memanfaatkan teknologi informasi berupa update posisi (upos) terhadap handphone (HP) yang melekat pada masing-masing orang yang diduga terlibat.
“Dan itu juga valid selama ini juga seperti itu, kemudian kita tarik data-data elektronik tersebut, kami mengejar, tim saya mengejar keberadaan terdakwa (Hasto) yang awalnya di seputaran DPP bergerak menuju ke arah Blok M, dan masuk di kantor sekolah polisi yang bernama Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian,” tutur Rossa.
Saat di sekitaran kompleks PTIK, Rossa bersama timnya juga bertemu dengan tim lain yang sedang melakukan pengejaran terhadap Harun Masiku. Namun saat melakukan pengejaran itu, petugas KPK tertahan di depan kompleks PTIK.
“Kami melakukan pengejaran itu karena ada petunjuk atau komunikasi sadapan, bahwa ada perintah dari ‘Bapak’ untuk menenggelamkan handphone ke dalam air, yang dilakukan oleh saudara Nurhasan kepada Harun Masiku pada saat itu kami juga diinformasikan melalui posko,” tuturnya.
“Kemudian kami melakukan pengejaran itu dari tim Harun Masiku kita ketemu di depan PTIK. Kami menunggu sebenarnya posisinya. Untuk menunggu terdakwa dan Harun Masiku ini keluar dari PTIK,” ditambahkan Rossa.
Sambil menunggu, petugas KPK melakukan ibadah Salat Isya di masjid di dalam Kompleks PTIK. Saat itu, Rossa bersama timnya didatangi oleh beberapa orang dan diinterogasi. Rossa dan timnya lalu dibawa ke dalam suatu ruangan.
“Rombongan kami ada 5 orang. Sehingga itu menyebabkan kami kehilangan jejak Harun Masiku dan terdakwa pada saat itu,” terang Rossa.
Selain diinterogasi berulang-ulang dan digeledah tanpa adanya surat perintah, ucap Rossa, HP Rossa dan timnya saat itu diminta oleh beberapa orang yang salah satunya ada juga mantan penyidik KPK, Hendy Kurniawan.
“Kemudian juga setelah itu kami dilakukan tes urine, waktu itu kami sempat menolak, apa tujuannya tes urine, bahkan kami tidak dalam posisi di tempat hiburan, tapi kami untuk membuktikan bahwa kami posisinya tidak terlibat narkoba, kami bersedia,” tutur Rossa.
Dalam persidangan, Hakim Ketua, Rios Rahmanto sempat mendalami soal pihak-pihak yang menghalangi petugas KPK saat hendak menunggu Harun Masiku dan Hasto ke luar dari PTIK.
“Itu tadi yang menghalangi siapa?” tanya Hakim Ketua Rios.
“Pada saat itu kami diamankan oleh beberapa orang, yang salah satunya saya kenal karena juga mantan penyidik KPK dulu, waktu itu pangkatnya AKBP, namanya Bang Hendy Kurniawan,” jawab Rossa.
“Kapasitas mereka itu sebagai apa, apakah memang penjaga di situ atau sedang bertugas atau gimana?” cecar Hakim Ketua Rios.
“Bukan, bukan sebagai petugas PTIK dan penjaga PTIK. Karena yang bersangkutan menggunakan pakaian preman,” jawab Rossa.