HolopisInternasionalWarga Gaza Ubah Sampah Plastik Jadi Bahan Bakar di Tengah Blokade Israel

Warga Gaza Ubah Sampah Plastik Jadi Bahan Bakar di Tengah Blokade Israel

JAKARTA – Di tengah-tengah serangan Israel terhadap Palestina, warga Palestina tampaknya dipaksa untuk berkreasi di bawah tekanan demi bertahan hidup. Hal itu terlihat di pabrik sementara di tengah reruntuhan bangunan di Gaza City bagian barat, dimana sekelompok warga Palestina sibuk menguraikan berbagai sampah plastik dan meleburnya dalam wadah logam besar.

Mereka mengubah limbah itu menjadi bahan bakar guna mengatasi krisis yang dipicu oleh blokade Israel, yang telah berlangsung selama lebih dari dua bulan.

“Kami mengumpulkan plastik dari reruntuhan bangunan, dan meleburnya,” kata pemilik pabrik tersebut, Saad al-Din Abu Ajwa (45), dikutip Holopis.com, Kamis (8/5).

“Proses ini menghasilkan minyak kental, yang kami panaskan kembali untuk mengekstrak bensin dan kemudian solar,” lanjutnya.

Beroperasi dengan bantuan beberapa saudara dan temannya, pabrik milik Abu Ajwa dapat menghasilkan sekitar 500 liter solar setiap hari.

Bahan bakar tersebut langsung dijual ke warga yang mengantre dengan membawa kontainer untuk menenagai berbagai peralatan esensial, termasuk kendaraan roda tiga, generator, dan pompa air.

“Tujuannya bukanlah keuntungan, tetapi kelangsungan hidup,” kata Abu Ajwa.

Israel Tega Batasi Penyaluran Bantuan ke Gaza

Sejak pecahnya konflik di Gaza pada 7 Oktober 2023, Israel telah memberlakukan pembatasan ketat terhadap penyaluran pasokan bantuan ke Gaza.

“Penyaluran bahan bakar semakin memburuk sejak 2 Maret, ketika akses masuk ditutup sepenuhnya,” kata Mahmoud Basal, juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, kepada Xinhua. “Situasinya sangat buruk.”

Menurut sejumlah badan PBB, bahan bakar yang masuk ke wilayah tersebut sejak dimulainya perang jumlahnya sangat sedikit, dengan sebagian besar disalurkan ke rumah sakit.

Sementara itu, stasiun pengisian bahan bakar masih ditutup untuk umum, memaksa masyarakat beralih ke alternatif seadanya atau pasar gelap, di mana harga satu liter solar kini mencapai 70 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.533).

Bagi banyak orang di Gaza, solar yang diproduksi secara lokal telah menjadi penyambung hidup sementara.

Abu Majed Sukar (38), seorang pengemudi kendaraan roda tiga, mengatakan kepada Xinhua bahwa penutupan perlintasan perbatasan telah menyebabkan transportasi umum berhenti beroperasi.

“Tanpa solar industri, kami akan menggunakan kereta keledai,” katanya. “Butuh waktu empat jam untuk menempuh perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu satu jam.

Sukar membeli bahan bakar dari tempat produksi milik Abu Ajwa setiap hari. Dia mengungkapkan bahwa harganya, yakni sekitar 14 dolar per liter, masih tergolong mahal tetapi jauh lebih murah daripada solar impor.

“Beberapa kendaraan dapat beroperasi sepenuhnya dengan solar seperti ini, tetapi model-model yang lebih baru memerlukan pencampuran dengan solar asli untuk menghindari kerusakan mesin,” katanya.

Sukar menambahkan bahwa ketersediaan bahan bakar yang lebih murah telah mengurangi biaya transportasi. Namun, proses pembuatan bahan bakar tersebut bukannya tanpa konsekuensi. Asap hitam pekat membubung tinggi di atas pabrik bahan bakar itu, dan para karyawan bekerja tanpa sarung tangan atau masker, sehingga mereka terpapar asap berbahaya.

WhasApp Channel

Ikuti akun WhatsApp Channel kami untuk mendapatkan update berita pilihan setiap hari.

Diedit & Dipublikasikan oleh:
  • Achmad Husin Alifiah ( Redaktur ) Kamis, 8 Mei 2025 - 16:42 WIB (1 minggu lalu)

Berita Terbaru

Berita Terkait