JAKARTA – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan tengah menyusun strategi antisipasi terkait kemungkinan masuknya barang-barang dari China ke Indonesia sebagai dampak dari kebijakan tarif dagang Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani menjelaskan bahwa modus perpindahan arus barang dari China yang terhambat masuk ke AS sudah terjadi di Eropa. Sehingga hal yang sama pun kemungkinan akan terjadi di wilayah Asia, termasuk Indonesia.
“Pemerintah Indonesia lagi menyiapkan bagaimana antisipasinya. Kita punya bea masuk antidumping (BMAD) atau bea masuk tindakan pengamanan (BMTP),” kata Askolani dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR, yang dikutip Holopis.com, Kamis (8/5).
BACA JUGA
- Dirjen Pajak dan Bea Cukai Bakal Diganti, Begini Kata Wamenkeu
- Sri Mulyani Tegaskan Kebijakan Fiskal 2026 Jadi Perisai Hadapi Risiko Global
- Kemenkeu Pastikan Pusat Logistik Berikat Jadi Magnet Investasi
- Lelang SBSN Diserbu Investor, Kemenkeu Sukses Kantongi Tawaran Rp27 Triliun
- Kadin Yakin RI Bisa Jadi Juru Kunci Perdamaian Dagang AS-China
Selain penerapan kebijakan khusus seperti BMAD dan BMTP, Askolani juga meminta agar kementerian dan lembaga terkait terus memperbaiki kebijakan terkait impor barang, sehingga koordinasi lintas sektor bisa berjalan optimal.
“Bea Cukai terus memberikan masukan dari hasil evaluasi lapangan untuk menjadi bahan pertimbangan K/L terkait,” ungkapnya.
Askolani optimistis, kebijakan antisipasi yang sedang disiapkan ini dapat turut mendukung pencapaian target penerimaan APBN tahun ini. “Dengan kebijakan itu, insya Allah dengan pencapaian penerimaan sampai Maret yang sebesar 25 persen, kami harap target APBN bisa dicapai,” ujarnya.
Ia pun menambahkan, bahwa sesuai dengan mekanisme yang berlaku, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menyampaikan laporan terbaru dan komprehensif terkait outlook anggaran kepada DPR pada laporan semester di pertengahan tahun nanti.
Dari sisi realisasi penerimaan, Bea Cukai mencatat bahwa hingga Maret 2025, penerimaan kepabeanan dan cukai telah mencapai Rp77,5 triliun atau setara 25,6 persen dari target APBN tahun ini.
Secara rinci, penerimaan dari bea masuk sebesar Rp11,3 triliun mengalami kontraksi 5,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Penurunan tersebut disebabkan oleh berkurangnya impor beras serta komoditas lain seperti gula dan kendaraan bermotor.
Selain itu, meningkatnya pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreements/FTA) membuat tarif efektif turun dari 1,39 persen di tahun 2024 menjadi 1,29 persen pada tahun ini.
Di sisi lain, penerimaan dari bea keluar justru mencatatkan lonjakan signifikan hingga 110,6 persen (yoy), mencapai Rp8,8 triliun. Pertumbuhan tersebut didorong oleh tingginya bea keluar produk sawit sebesar Rp7,9 triliun serta realisasi bea keluar konsentrat tembaga sebesar Rp807,7 miliar, seiring dengan kebijakan baru terkait ekspor mineral.
Sementara dari sisi penerimaan cukai, DJBC mencatat pertumbuhan sebesar 5,3 persen (yoy), dengan nilai mencapai Rp57,4 triliun. Meski terdapat pelunasan maju sebesar Rp4,6 triliun, pertumbuhan ini tetap terjadi di tengah penurunan produksi periode November 2024 hingga Januari 2025 yang turun sebesar 4,5 persen.