JAKARTA – Pengamat Kebijakan Publik dan Founder Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (MUDA) Achmad Fanani Rosyidi menyampaikan bahwa hilirisasi harus dilaksanakan dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya sekadar jargon pertumbuhan yang justru malah berlangsung semu.
Hal ini disampaikan Fanani dalam diskusi publik bertajuk “Pemerataan Hilirisasi Menuju Indonesia Emas Tahun 2045” yang diselenggarakan oleh PT Pertamina Kerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Selatan, Jumat (2/5/2025).
“Hilirisasi tidak boleh sekadar jargon pertumbuhan ekonomi, tapi harus dibarengi dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan,” kata Fanani.
BACA JUGA
Terlebih kata Fanani, bahwa momentum bonus demografi pada 2045 adalah tantang besar, di mana saat 60% penduduk Indonesia berada di usia produktif bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, peluang menuju Indonesia Emas terbuka lebar jika sumber daya manusia (SDM) unggul, lapangan kerja memadai, dan pertumbuhan ekonomi inklusif terwujud.
Namun akan sangat berbahaya jika momentum bonus demografi tersebut tidak dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah dan seluruh stakeholder lainnya. Bukan menjadi Indonesia Emas, justru akan menjadi lebih buruk.
“Di sisi lain, ancaman Indonesia Cemas mengintai jika bonus demografi justru dibarengi dengan tingginya stunting, pengangguran, ketimpangan, serta kerusakan lingkungan yang menggerus daya dukung alam,” tuturnya.
Selain itu, Fanani juga menyampaikan bahwa kebijakan hilirisasi yang digadang-gadang sebagai strategi pemerataan kesejahteraan melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam, nyatanya masih menyisakan masalah serius.
Lantas, ia pun mencontohkan hilirisasi nikel di Teluk Weda, Pulau Obi di Maluku Utara, dan sejumlah lokasi tambang lain, di mana eksploitasi masif justru memicu kerusakan ekosistem, pencemaran limbah tambang, serta pelanggaran hak-hak masyarakat adat.
“Data dari berbagai sumber mencatat, nelayan setempat kehilangan mata pencaharian karena ikan tercemar tailing, sementara janji kesejahteraan justru berbanding terbalik dengan meningkatnya kemiskinan dan konflik agraria,” ujarnya.
Di samping itu, Fanani juga menekankan bahwa roadmap pemerintah dalam hilirisasi sawit, bauksit, migas, dan mineral lain harus dikawal ketat agar tidak mengulang pola eksploitatif yang mengorbankan rakyat dan alam.
“Jika tidak, target Indonesia Emas 2045 akan kandas oleh krisis ekologi dan ketidakadilan struktural yang justru memicu instabilitas,” tukasnya.
Fanani selanjutnya mengajak kepada seluruh mahasiswa dan generasi muda sebagai agent of change untuk bersikap kritis dan terlibat aktif mengawal kebijakan hilirisasi. Lantas, Fanani juga mendorong kolaborasi antara akademisi, masyarakat sipil, bahkan pihak korporasi dan pemerintah untuk menata ulang model hilirisasi yang berkelanjutan dan berkeadilan, demi masa depan Indonesia yang benar-benar gemilang.
“Bonus demografi hanya bermakna jika generasi muda memastikan pembangunan berjalan berkeadilan. Jangan sampai kita mewariskan Indonesia yang emas di atas kertas, tapi cemas dalam realita,” pungkasnya.