JAKARTA – Aktivis dari Koalisi Sipil untuk UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Jumisih menyatakan bahwa banyaknya pekerja Indonesia yang memilih ke luar negeri adalah bagian dari konsekuensi logis dari ketidakjelasan perlindungan hak-hak mereka ketika bekerja di Indonesia.
Terlebih menurutnya, saat ini banyak sekali gelombang PHK (pemutusan hubungan kerja) yang masif menjadi salah satu sumbangsih besar bagi ketidakpastian hak pekerjaan di dalam negeri.
“PHK masal juga mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia terpaksa bekerja keluar negeri. Fenomena Kabur Aja Dulu menunjukan tidak terjaminya hidup, bahkan hak pekerjaan saja pemerintah tidak mampu memberikan sebagai hak dasar manusia, apalagi hak hidup sejahtera dengan gaji yang layak,” kata Jumisih dalam keterangan persnya terkait aksi bersama Aliansi Perempuan Indonesia yang diterima Holopis.com, Jumat (2/5/2025).
Tidak ada Topik serupa pekan ini.
Salah satu yang ia akhirnya kritisi dalam momentum Hari Buruh Internasional 2025 (May Day) adalah sikap pemerintah khususnya DPR RI yang masih acuh dengan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Bahkan sejak 2004 RUU tersebut diajukan ke DPR RI, namun sampai dengan saat ini belum ada iktikad baik dari pihak berwenang untuk menuntaskannya menjadi regulasi.
Padahal menurut Jumisih, RUU PPRT tersebut sangat diperlukan mengingat saat ini ada lebih dar 9 juta pekerja migran yang mayoritas perempuan dan bekerja di sektor perawatan, yakni PRT (Pekerja Rumah Tangga) dan di panti jompo.
“Ketidakpedulian pemerintah terhadap kerja – kerja perawatan juga terlihat melalui keengganannya mengesahkan RUU PPRT yang mangkrak lebih dari 20 tahun. Pemerintah juga abai terhadap perlindungan pekerja migran yang menjadi rantai kerja perawatan dan buruh di pasar global,” tuturnya.
Yang paling pelik menurut Jumisih adalah, pemerintah saat ini justru terlihat sedang jor-joran untuk mengirimkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Padahal yang dibutuhkan oleh pekerja rumah tangga saat ini bukan itu, melainkan kepastian perlindungan dan hak-hak normatif mereka yang diberikan negara.
“Alih-alih memberikan perlindungan bagi pekerja perawatan baik di dalam maupun di luar negeri dengan mengesahkan RUU PPRT, justru Pemerintah dan DPR sibuk mengejar target peningkatan jumlah pengiriman PMI dengan tujuan meningkatkan remitansi melalui revisi UU PPM,” tukasnya.
Jumisih menyebut bahwa remitansi tahun 2024 sebesar Rp 253,77 Triliun, di mana angka ini menunjukkan bahwa pendapatan negara melalui devisa terbesar setelah migas. Bahkan lebih peliknya lagi menurut Jumisih, revisi terhadap UU PPMI juga tidak melibatkan organisasi pekerja migran dan keluarga.
Oleh sebab itu, ia pun menekankan kepada pemerintah dan DPR RI sebagai lembaga legislatif untuk tidak lagi bermain-main dengan nasib buruh Indonesia, khususnya kalangan Pekerja Rumah Tangga.
“Tuntutan Aliansi Perempuan Indonesia, pertama, setop solusi palsu. Segera wujudkan kesejahteraan buruh, buruh migran, perempuan, rakyat berbasis keadilan ekonomi,” tegas Jumisih.
Selanjutnya ia mendesak kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghentikan gelombang PHK massal dan berikan jaminan perlindungan sosial untuk buruh dan keluarganya.
Kemudian soal ketersediaan day care yang berkualitas. Caranya dengan memberikan perhatian lebih kepada para perawat domestik serta kepesertaan jaminan sosial yang memadahi.
“Sediakan daycare berkualitas, subsidi kerja perawatan domestik, dan jaminan sosial universal,” lanjutnya.
Yang tidak kalah penting adalah tuntutan kepada pemerintah bersama dengan DPR RI khususnya periode 2024-2029 untuk segera mengesahkan RUU PPRT menjadi Undang-Undang.
“Sahkan UU Perlindungan PRT,” tekan Jumisih.
Terakhir, ia juga meminta agar pemerintah semakin getol menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia yang lebih berkeadilan, bukan malah mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk menjadi TKI (tenaga kerja indonesia) ke luar negeri.
“Ciptakan lapangan kerja, bukan ekspor tenaga kerja. Dan libatkan CSO (Civil Society Organization) dalam RUU PPMI,” pungkasnya.