JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto membuka peluang pengakuan resmi negara terhadap Marsinah, aktivis buruh yang tewas tragis pada 1993, untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Pernyataan tersebut disampaikan langsung di hadapan ribuan pekerja dalam peringatan Hari Buruh yang digelar di Lapangan Monas, Jakarta, pada Kamis (1/5).
Dalam pidatonya, Prabowo merespons pertanyaan dari para tokoh buruh mengenai belum adanya sosok dari kalangan buruh yang mendapatkan gelar pahlawan nasional.
BACA JUGA
- Prabowo Siap Mati-matian Jaga Aset Negara Bermodal UUD 1945 dan Pancasila
- Prabowo Ke Thailand
- Prabowo Tak Gentar Sikat Koruptor : Saya Hanya Ingin Meninggalkan Nama Baik
- Prabowo Ajak Kader TIDAR Komitmen Perbaiki Bangsa Lewat Jalur Politik
- Prabowo : Yang Menentukan Saya Maju Pilpres 2029 Hanya Tuhan dan Saya!
“Atas usulan dari tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan buruh, saya ditanya, ‘Kenapa tidak ada pahlawan nasional dari kaum buruh?’ Saya jawab, coba kalian berembuk dan usulkan,” ucap Prabowo, seperti dikutip Holopis.com.
Nama Marsinah pun mengemuka dalam percakapan tersebut sebagai figur yang dinilai layak mendapatkan penghargaan tertinggi dari negara atas perjuangannya membela hak-hak buruh.
Marsinah menjadi simbol perlawanan buruh setelah meninggal secara misterius pasca-memimpin aksi unjuk rasa menuntut upah layak di Jawa Timur tiga dekade lalu.
Menanggapi usulan itu, Presiden menyatakan kesiapan politiknya untuk mendorong proses penetapan gelar pahlawan nasional bagi Marsinah, asal ada kesepakatan dari seluruh elemen gerakan buruh di Indonesia.
“Kalau seluruh pimpinan buruh mewakili kaum buruh sepakat, saya akan mendukung Marsinah menjadi pahlawan nasional,” tegasnya.
Pernyataan tersebut sontak disambut antusias dan tepuk tangan dari para peserta aksi yang memadati lokasi. Pasalnya langkah ini menjadi sinyal positif dari pemerintah baru untuk memberi ruang rekognisi terhadap sejarah perjuangan buruh yang selama ini belum mendapat tempat di narasi besar kepahlawanan nasional.
Siapa Marsinah?
Marsinah adalah seorang aktivis buruh perempuan yang lahir di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, pada 10 April 1969. Ia dikenal sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak pekerja di masa Orde Baru.
Berasal dari keluarga sederhana, Marsinah adalah anak petani yang tumbuh dengan semangat belajar tinggi. Setelah lulus SMA, ia bekerja sebagai operator di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah perusahaan arloji di kawasan Sidoarjo.
Semasa bekerja, Marsinah aktif menyuarakan hak-hak buruh, terutama soal upah minimum dan kondisi kerja yang layak. Ia bukan anggota serikat buruh resmi yang kala itu dikontrol negara, namun menjadi penggerak utama dalam berbagai aksi dan perundingan antara buruh dan perusahaan.
Keberaniannya berpuncak pada 3 Mei 1993, ketika ia memimpin rekan-rekannya menuntut perusahaan mematuhi keputusan Gubernur Jawa Timur terkait kenaikan upah minimum dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari.
Namun, perjuangan itu berujung tragis. Beberapa hari setelah aksi tersebut, Marsinah dilaporkan hilang. Jenazahnya ditemukan pada 8 Mei 1993 di sebuah gubuk di hutan Wilangan, Nganjuk. Tubuhnya menunjukkan tanda-tanda penyiksaan berat, termasuk patah tulang dan memar parah.
Kematiannya mengguncang publik nasional dan internasional. Banyak yang menduga aparat negara terlibat dalam penculikan dan pembunuhan Marsinah, meskipun hingga kini tidak ada pelaku utama yang benar-benar diadili secara transparan.
Kisah Marsinah menjadi titik balik dalam kesadaran kolektif tentang pentingnya perlindungan terhadap hak-hak buruh di Indonesia. Namanya dikenang dalam berbagai gerakan buruh, bahkan diangkat dalam teater, film dokumenter, dan puisi. Ia menjadi lambang perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan struktural, khususnya terhadap perempuan pekerja.