JAKARTA – Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menyampaikan rasa prihatin atas penahanan Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (TB) oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Hal ini disinyalir penahanan tersebut dilatarbelakangi karena praktik kerja jurnalistiknya.
“IPW melihat penetapan tersangka terhadap jurnalis JakTV TB adalah tindakan sewenang wenang, bertentangan dengan hukum,” kata Sugeng dalam keterangan persnya yang diterima Holopis.com, Kamis (24/4/2025).
Menurut Sugeng, semestinya kasus yang berkaitan dengan Tian Bahtiar dalam konteks materi pemberitaan harus dilakukan dengan pendekatan UU Pers, bukan tiba-tiba diseret ke KUHP atau hukum lainnya.
BACA JUGA
- BPA Sukses Aset Eks Kadishub DKI Udar Pristono di Bali
- Penyitaan Pabrik PT. OTM Tinggal Menunggu Waktu
- 2 Anak Usaha PT Darmex Plantations akan Kirim Rp 479 Miliar Hasil TPPU Duta Palma ke Hong Kong
- Kejagung Sebut Korupsi Pengadaan Satelit di Kemhan Rugikan Negara USD 21.384.851
- Mantan Petinggi HMI Sekaligus Ketua Tim Cyber Army Dapat Imbalan Ratusan Juta dari Perkara Impor Gula dan CPO
Sebab dengan demikian, justru Kejaksaan Agung malah terkesan menebar ancaman atau intimidasi pada kerja jurnalistik dengan menciptakan iklim ketakutan dan pembungkaman kebebasan berekspresi.
“Padahal, kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum,” ujarnya.
Sugeng melihat bahwa latar belakang kasus TB adalah, ia membuat berita-berita yang berisi konten konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan melalui JakTV, sebuah media penyiaran swasta di mana Tian Bahtiar bekerja.
Materi pemberitaan yang diduga dipermasalahkan adalah pembuatan narasi positif bagi tim advokat MS (Marcella Santoso) dan JS (Junaedi Saibih), membuat metodologi perhitungan kerugian keuangan, membiayai demontrasi demontrasi, membuat narasi-narasi yang menyudutkan dan menarasikan negatif tentang kejaksaan, membiayai dan menyelenggarakan kegiatan seminar-seminar, podcast dan talkshow di beberapa media online, kemudian diliput serta disiarkan melalui JakTV, akun akun official JakTV, termasuk di media TikTok, Youtube.
Oleh sebab itu, Sugeng yang merupakan advokat ini pun mengingatkan, bahwa di dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers, negara telah menjamin bahwa kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara, serta menjamin pers nasional dalam melaksanakan 10 peranannya, meliputi ; (a) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; (c) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; (d) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (e) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. (Pasal 6 UU Pers).
“Pada intinya, kebebasan pers ini sesuai dengan amanat kemerdekaan mengeluarkan pendapat sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945,” tegasnya.
Pada aspek ini, Sugeng pun menekankan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
“Oleh karena itu, IPW menilai kebebasan berpendapat, berekspresi serta kebebasan akademik tidak bisa dipidana dan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi,” tutur Sugeng.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa ketika sebuah karya, atau dan produk jurnalistik yang disampaikan oleh pers memuat informasi yang tidak akurat dan berimbang, maka pihak yang mengalami kerugian dapat menyampaikan keberatannya melalui proses pengaduan ke Dewan Pers. Pengambilan keputusan atas kasus pers melalui mekanisme pengaduan ke Dewan Pers diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/PeraturanDP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan Ke Dewan Pers.
“Artinya tidak boleh langsung menangkap insan pers, melainkan harus melalui mekanisme Dewan Pers. Hal ini sejalan dengan UU Pers,” paparnya.
Dengan demikian, Sugeng Teguh Santoso menekankan lagi bahwa memiliki pandangan hukum yang berbeda atas kinerja penegak hukum atas suatu permasalahan hukum yang diwujudkan dengan membuat pendapat tertulis atau lisan berdasarkan ukuran ukuran akademik yang disampaikan dalam forum diskusi, seminar, podcast dan dipublikasikan melalui media mainstream maupun media sosial tidak boleh dinilai sebagai delik apalagi dinilai sebagai menghalangi penyidikan, karena menyampaikan pendapat keilmuan yang berbeda adalah kewajiban keilmuan dan sebagai hak yang dilindungi oleh hukum.
“Narasi narasi negatif harus dinilai kritik atas kinerja Kejaksaan Agung karena Indonesia adalah negara demokrasi yang membuka lebar perbedaan pendapat,” pungkasnya.
Harli Bantah Kasus Tian Bahtiar Berkaitan dengan Produk Jurnalistik
Sebelumnya diberitakan, bahwa Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Siregar membantah jika penahanan Tian Bahtiar adalah terkait produk jurnalistik. Hal ini disampaikan Harli setelah Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mendatangi kantornya pada Selasa 22 April 2025.
Harli menggarisbawahi bahwa masyarakat harus melihat kasus ini dalam konstruksi yang utuh. Di mana oknum jurnalis tersebut diduga melakukan praktik obstruction of justice atau upaya perintangan terhadap proses penegakan hukum.
“Ini suatu perbuatan yang menurut kami ini lebih kepada perbuatan perintangan, obstruction of justice,” kata Harli.
Oleh sebab itu dalam konteks penanganan perkara itu, Harli menegaskan bahwa pihak penyidik akan menjerat para tersangka sesuai dengan pasal-pasal yang tepat berdasarkan jenis pelanggaran yang dialamatkan.
“Diarahkan pada pasal-pasal yang ada di dalam UU Tipikor, misalnya Pasal 21 perintangan,” tuturnya.