JAKARTA – Influencer dan kreator konten Ferry Irwandi menekankan bahwa TNI tidak boleh berbisnis. Itulah yang menurutnya menjadi pembeda yang jelas antara sipil dan militer. Hal ini juga sekaligus untuk menekankan bahwa seluruh aparat bersenjata tidak diperbolehkan berbisnis sekalipun itu Polisi.
“Itu kan ada logical kesesatan berpikir ya, satu kesalahan itu tidak menutupi kesalahan lain, berarti dua kesalahan, gitu kan. Misal TNI berbisnis, oh Polisi juga. Ya berarti dua-duanya salah, gitu, bukan berarti satunya jadi benar,” kata Ferry dalam podcast Akbar Faizal Uncensored yang dikutip Holopis.com, Selasa (22/4/2025).
Ketika TNI merupakan aparat keamanan yang dibekali senjata dan ingin bersaing dengan sipil yang tidak dibekali senjata dan pasukan seperti mereka, maka hal itu jelas praktik yang unfairness.
BACA JUGA
“Apa salahnya TNI berbisnis, ya balik lagi, tidak bisa. Kalian dibekali sesuatu yang kami tidak bekali. Kalian dibekali senjata, itu hal yang paling matters. Senjata adalah tools yang bisa ngambil nyawa orang lain seketika,” ujarnya.
“Mau kayak gimanapun seseorang yang dilegalkan memegang senjata tidak akan pernah bisa hidup bersama dan bersaing secara sehat dengan orang yang tidak pegang senjata. Itulah kenapa ada yang namanya sipil ada yang namanya militer,” sambung Ferry.
Mantan ASN dari Kementerian Keuangan tersebut menegaskan bahwa setiap orang yang sudah terliterasi dengan baik, maka akan sangat memahami bahwa sipil dan militer adalah sesuatu yang sangat berbeda dan tidak bisa dicampir aduk.
“Tentu kita nggak perlu ngomong panjang lebar untuk urusan lain, kalau emang ini manusia terdidik dengan baik, tahu dua hal ini berbeda sekali,” tegasnya.
Lantas, Ferry Irwandi pun memberikan contoh lain mengapa seseorang yang dibekali kekuatan lebih atas dasar jabatan tidak pantas untuk bertarung dan bersaing dengan seseorang yang tidak dibekali dengan kekuatan yang sama.
“Misalnya kita tarung boxing lah atau tarung UFC gitu loh. Apakah kita akan menikmati pertarungan antara orang yang pakai tangan kosong tiba-tiba satunya pakai samurai. Terus yang pakai samurai merengek, kami butuh diikut tarung juga tapi kami harus pakai samurai,” tukasnya.
Jika hal itu terjadi, justru inilah sisi yang dinilai Ferry sangat mencoreng wajah militer di Indonesia. Karena mereka melakukan sebuah persaingan yang jelas tidak berimbang. Jika pun seseorang dengan latar belakang militer tetap ingin bersaing dalam ranah sipil dan merasa secara pribadi jauh lebih baik dan berkompeten dalam bidang bisnis, maka langkah yang paling konkret menurut Ferry adalah, oknum militer tersebut keluar dari kesatuan dan organisasi kemiliteran, lalu menjadi sipil dan bersaing di ruang sipil.
“Ini kan memalukan buat militer kita, ini memalukan. Kalau lu emang mau saing, kalau memang lu mau berbisnis tinggalin, tinggalin semua,” tegasnya.
“Kalau emang naskah akademiknya kalian ini lebih berkualitas, ini ini lebih superior segala macam. Oke fine, kita setuju. Kalau memang lebih baik tentu kamu tidak butuh semua pangkat, pasukan dan senjata ini kan. Itu logik berpikirnya dulu nih, framework berpikirnya dulu kita benerin,” sambung Ferry.
Dalam aspek ini, bos Malaka Project tersebut menekankan bahwa pemerintah Indonesia harus bisa memberikan garis tebal yang jelas tentang perbedaan entitas tersebut, yakni sipil dan militer. Sebab dalam konteks persaingan apalagi dalam ranah bisnis, jelas kedua entitas tersebut tidak seimbang.
“Jadi sebenarnya bukan soal personalnya tapi soal ini ada borderline yang jelas antara militer dan sipil,” tutur Ferry.
Lebih lanjut, Ferry Irwandi memberikan sindiran bahwa banyak kalangan jenderal sering diasosiasikan sebagai kalangan kaya raya oleh masyarakat sipil. Sebab banyak jenderal yang memiliki rumah besar, di mana hal itu menurutnya sangat berbanding terbalik dengan para anggota dan prajurit yang masih berpangkat lebih rendah.
“Nah, kalau kita harus lebih terbuka lagi, TNI tidak berbisnis saja kita sudah lihat di setiap daerah kalau misalnya ada rumah yang besar, orang-orang yang kaya, pasti dibilang oh rumah jenderal, itu dalam keadaan TNI dilarang berbisnis,” ujar Ferry.
“Sementara di sisi lain kita ngelihat sendiri prajurit-prajurit menengahnya hidup itu berkejar-kejar dalam garis kemiskinan. Bintaranya, tamtamanya, umpan pelurunya, itu bener-bener bekerkejar-kerajan dengan garis kemiskinan,” tambahnya.