HolopisRagamCatat, Ini 5 Kalimat yang Haram Diucapkan Saat Tanggapi Kasus Kekerasan Seksual

Catat, Ini 5 Kalimat yang Haram Diucapkan Saat Tanggapi Kasus Kekerasan Seksual

JAKARTA – Saat ini, dunia Indonesia dengan dihadapi kenyataan kelam, yaitu terungkapnya beberapa kasus kekerasan seksual di saat yang berdekatan. Mirisnya, beberapa kekerasan tersebut terjadi di wilayah profesional dan dilakukan oleh orang-orang yang harusnya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat.

Namun sayangnya, masih banyak komentar dan respon netizen yang terkesan tidak sensitif dan memiliki pengetahuan yang burut tentang kasus pelecehan dan kekerasan seksual.

Dalam kasus kekerasan seksual, respons publik terhadap korban memiliki peran besar dalam proses pemulihan maupun pencarian keadilan. Sayangnya, tak sedikit dari masyarakat yang secara sadar atau tidak sadar justru menyampaikan komentar-komentar yang menyakitkan, menyudutkan, bahkan menyalahkan korban.

Tidak ada Topik serupa pekan ini.

Kalimat-kalimat seperti ini bukan hanya tidak membantu, tetapi juga berbahaya. Mereka bisa membuat korban merasa semakin malu, takut bicara, bahkan menutup diri sepenuhnya dari proses hukum maupun dukungan sosial.

Perlu diingat Sobat Holopis, bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan. Satu-satunya pihak yang patut disalahkan adalah pelaku, bukan korban. Ini dia Sobat Holopis 5 kalimat yang haram diucapkan saat menanggapi kasus kekerasan seksual.

1. ‘Kenapa dia nggak teriak atau melawan?’

Kalimat ini terdengar seolah mempertanyakan keberanian korban, padahal tidak semua orang bisa merespons kekerasan dengan perlawanan aktif. Banyak korban yang mengalami frozen response atau membeku karena trauma. Ini adalah reaksi psikologis alami tubuh saat merasa dalam bahaya.

Mengharapkan semua orang bisa menjerit atau melawan dalam situasi penuh ancaman justru menunjukkan kurangnya pemahaman tentang kondisi psikologis korban. Kalimat ini menyudutkan dan bisa membuat korban merasa dirinya lemah, padahal mereka sedang menghadapi situasi yang sangat traumatis.

2. ‘Pasti dia juga menikmati, masa nggak bisa kabur?’

Kalimat ini sangat berbahaya karena bukan hanya menyalahkan korban, tapi juga menuduh bahwa korban diam-diam menyukai kekerasan yang dialaminya. Ini merupakan bentuk pelecehan sekunder yang bisa melukai korban dua kali lebih dalam. Kenyataan bahwa korban tidak melawan bukan berarti mereka setuju atau menikmati.

Ketakutan, tekanan, rasa tidak berdaya, dan ancaman nyata dari pelaku membuat korban bisa saja diam. Tak semua korban punya kesempatan untuk kabur atau menyelamatkan diri. Kalimat seperti ini hanya membenarkan tindakan pelaku dan memperkuat budaya pemerkosaan (rape culture).

3. ‘Lihat bajunya, ya wajar aja digituin’

Ini adalah salah satu bentuk victim blaming paling umum. Kalimat ini secara langsung mengaitkan kekerasan seksual dengan penampilan korban, seolah pakaian bisa menjadi penyebab seseorang diperkosa. Padahal, kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja — anak-anak, lansia, bahkan orang yang berpakaian sangat tertutup.

Pakaian bukanlah pemicu, yang menjadi masalah adalah pelaku yang tidak menghormati batas dan hak orang lain. Menyalahkan pakaian sama saja dengan mengalihkan fokus dari pelaku ke korban. Ini adalah logika yang keliru dan sangat merugikan.

4. ‘Yakin dia nggak ngarang cerita buat cari perhatian?’

Saat korban berani bicara, yang dibutuhkan adalah empati dan dukungan, bukan keraguan. Kalimat ini menunjukkan ketidakpercayaan yang bisa sangat melukai. Korban kekerasan seksual sudah cukup menderita dengan trauma yang mereka bawa, dan butuh keberanian luar biasa untuk bersuara.

Menuduh mereka berbohong atau mencari perhatian hanya akan membuat korban berpikir dua kali untuk bicara lagi, dan pada akhirnya membiarkan pelaku bebas tanpa konsekuensi. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan.

5. ‘Sudah kejadian juga, mending ikhlasin aja biar bisa move on’

Kalimat ini terdengar bijak, tapi sesungguhnya sangat tidak sensitif. Penyintas kekerasan seksual tidak bisa sembuh hanya dengan ‘mengikhlaskan’. Mereka butuh waktu, dukungan, dan mungkin bantuan profesional. Menyuruh korban cepat ‘move on’ justru menunjukkan keengganan kita untuk memahami penderitaan mereka. Move on tidak bisa dipaksakan. Kalimat ini juga bisa memotong proses hukum dan membuat korban enggan melapor karena merasa tidak akan mendapat dukungan.

Perlu diingat Sobat Holopis, membicarakan kekerasan seksual butuh sensitivitas, empati, dan keberanian untuk berpihak pada korban. Kalimat-kalimat yang terkesan ‘biasa saja’ ternyata bisa menjadi senjata yang melukai lebih dalam dari yang kita bayangkan. Terkadang niat untuk ‘menasihati’ justru berujung pada menyalahkan. Sebagai masyarakat, kita punya tanggung jawab untuk menciptakan ruang aman bagi para penyintas agar mereka bisa pulih dan mendapatkan keadilan.

WhasApp Channel

Ikuti akun WhatsApp Channel kami untuk mendapatkan update berita pilihan setiap hari.

Berita Terbaru

Berita Terkait