HolopisPolhukamDuit Gratifikasi Hakim Diduga dari Wilmar Group, Kejagung Tahan Syafei

Duit Gratifikasi Hakim Diduga dari Wilmar Group, Kejagung Tahan Syafei

JAKARTA – Penyidik terus mendalami asal muasal duit gratifikasi Rp 60 miliar yang menyeret sejumlah hakim terkait dengan putusan ontslag perkara CPO.

Dimana kali ini kuat indikasi duit tersebut berasal dari Wilmar Group, perusahaan yang didirikan Martua Sitorus- Kuok KhoonHong. Alhasil, penyidik Pidsus Kejaksaan Agung menetapkan Muhammad Syafei dalam kapasitas Legal Wilmar Group.

Syafei diduga menjadi penghubung pemberi gratifikasin kepada Advokat Ariyanto Bakri.

Atas perbuatannya, tersangka diancam pidana penjara 15 tahun penjara, minimal 3 tahun penjara. Penyidik jerat tersangka dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor.

“Telah cukup bukti dari pemeriksaan saksi dan karenanya MSY ditetapkan sebagai tersangka. Demi kepentingan penyidikan dilakukan penahanan,” kata Direktur Penyidikan di Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar dalam keterangannya pada Selasa (15/3) malam.

Penyidik pun hingga saat ini masih terus mendalami penyandang dana yang belum juga ditetapkan sebagai tersangka sampai dengan saat ini.

Dengan ditetapkannya MSY sebagai tersangka, maka total tersangka dalam perkara yang menyeret 3 Ketua dan Majelis Hakim Perkara Terdakwa 3 Induk Korporasi sudah delapan orang.

Wilmar Group punya sejumlah anak perusahaan, diantaranya PT. Wilmar Nabati Indonesia yang berbisnis di sektor sawit. Produksi Wilmar tersebar di belahan dunia. Perusahaan ini didirikan pada 1991 dan berkantor pusat di Singapura.

Anak usaha Wilmar lain, ialah PT. Multimas Nabati Asahan, PT. Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia.

Dari data Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Wilmar punya total lahan 354.250,33 hektar (ha) per 2020. Dari total lahan, 70% atau seluas 246.543,39 ha ditanam kelapa sawit. Sementara lahan dalam skema perkebunan rakyat seluas 43.471,54 ha.

Wilmar didirikan Martua Sitorus dengan Kuok Khoon Hong. Produknya, Sania, Fortune, Siip, Sovia, Mahkota, Ol’eis, Bukit Zaitun dan Goldie.

Terdakwa lain dalam perkara CPO, yakni Musim Mas Group terdiri dari PT. Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT. Mikie Oleo Nabati Industri, PT. Agro Makmur Raya, PT. Musim Mas-Fuji, PT. Mega Surya Mas dan PT.Wira Inno Mas.

Musim Mas Group dimiliki Bachtiar Karim alias Lim Ek Tjioe yang dikenal sebutan Raja Sawit dari Medan.

Terdakwa ketiga, yaitu Permata Hijau Group terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo dan PT Permata Hijau Sawit.

Pemilik Permata Hijau Group adalah Robert Wijaya. Perusahaan bergerak di bidang perkebunan dan pengolahan kepala sawit. Permata yang didirikan tahun 1984 punya berbagai lini bisnis, mulai CPO, produksi Biodiesel sampai perkebunan kelapa sawit.

Dugaan terseretnya Syafei, berawal pertemuan antara Advokat Ariyanto Bakri dengan Wahyu Gunawan, yang saat itu mengingatkan perkara CPO harus diurus, jika tidak putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam pertemuan tersebut, Wahyu menanyakan biaya yang disediakan korporasi, namun Ariyanto menjawab akan ditanyakan dahulu kepada kliennya dan kemudian disampaikan kepada rekannya sesama Advokat Marcella Santoso.

Atas informasi itu, Marcella bertemu dengan M. Syafei di rumah makan Daun Muda, Jakarta Selatan dan oleh Syafie dijawab sudah ada tim yang mengurusnya.

Sekitar 2 minggu kemudian, Ariyanto dihubungi kembali Wahyu dan minta perkara segera diurus. Kantongi informasi dari Wahyu, lalu Ariyanto menyampaikan kepada Marcella, yang kemudian diikuti pertemuan Marcella dengan Syafei, di rumah makan Daun Muda.

Dalam pertemuan tersebut, Syafei sampaikan korporasi sudah siapkan dana Rp 20 miliar guna dapatkan putusan bebas.

Merasa mendapat jawaban positif, Ariyanto, Wahyu dan M. Arif Nuryanta bertemu di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dalam pertemuan itu, M. Arif Nuryanta (saat itu Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Red) mengingatkan perkara CPO (Crude Palm Oil) tidak bisa diputus bebas, tapi hanya bisa diputus Ontslag (perbuatan tidak masuk perbuatan pidana).

“Itu pun dengan catatan Rp 20 miliar dikali 3 menjadi Rp 60 miliar,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar.

Atas informasi itu, Wahyu sampaikan kepada Ariyanto untuk siapkan uang Rp 60 miliar. Ariyanto tindak lanjuti dengan menyampaikan kepada Marcella.

Marcella kemudian meneruskan kepada Syafei dan dijawab bahwa permintaan itu akan diberikan dalam bentuk mata uang asing (dolar Singapura dan AS).

Sekitar 3 hari kemudian, Syafei hubungi Marcella dan sampaikan uang sudah disiapkan dan menanyakan uang akan diberikan dimana.

Atas permintaan tersebut, Marcella memberikan nomor HP Ariyanto kepada Syafei.

Setelah ada komunikasi antara Ariyanto dan Syafei diikuti pertemuan fisik di parkiran SCBD dan diserahkan uang tersebut kepada Ariyanto.

Kemudian, uang tersebut oleh Ariyanto diantar ke rumah Wahyu, di Klaster Ebony, JI. Ebony 6, Blok AE No. 28, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

“Uang tersebut oleh Wahyu diserahkan kepada M. Arif Nuryanta dan Wahyu diberikan uang sebesar USD 50.000 oleh Tersangka MAN,” tutup Harli.

WhasApp Channel

Ikuti akun WhatsApp Channel kami untuk mendapatkan update berita pilihan setiap hari.

Berita Terbaru

Berita Terkait